METROPOLITAN - Sebuah gapura usang khas tataran Pasundan bertuliskan ’Selamat Datang di Kota Santri Jonggol Kabupaten Bogor’ menyambut penelusuran Harian Metropolitan terkait pondok pesantren (ponpes) 100 hektare yang menjadi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berada di Kampung Kebonkelapa, RT 02/01, Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, ponpes pimpinan Yayasan Madinatun Najah Mardani Zuhri asal Jakarta itu berdiri.
Berjarak tak kurang 50 meter dari gapura, sejumlah bangunan tua terlihat dari kajauhan. Untuk sampai di sana, tim harus menyusuri jalan desa dengan lebar sekitar 3,5 meter. Suasana di sana tampak sepi. Terlihat ada dua bangunan yang digunakan sebagai pusat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), di bawah naungan Yayasan Madinatun Najah. Masing-masing bangunan memiliki empat kelas berukuran 4x4 meter persegi, yang mehadap tepat ke Masjid Agung yang tengah dalam tahap pembangunan.
Selain PAUD, pemilik yayasan pendidikan Madinatun Najah juga rupanya membangun SD dan ponpes di sana. Rafiq, salah satu tenaga pengajar Yayasan Pendidikan Madinatun Najah mengungkapkan, yayasan tersebut dipimpin pria asal Jakarta yang merupakan menantu pendiri Ponpes Darunn Najah.
“Pimpinan kami bernama Ustadz Mardani Zuhri, menantu dari Kiai Mahrus Amin pendiri dari Ponpes Darunn Najah. Jadi secara tidak langsung yayasan ini ada ikatan yang cukup kuat kepada Darunn Najah,” beber pria lulusan Darunn Najah Kuningan 2014 silam itu.
Namun, ia tak menampik bila saat ini kondisinya sepi. Sebab, para santrinya tengah masuk jadwal libur sekolah. Aktivitas belajar mengajar akan kembali normal pada pertengahan Juli. “Sejak dua minggu lalu memang santri sudah pulang kampung. Nanti mulai lagi pertengah Juli,” ujar pria yang sudah mengabdikan dirinya sejak 2014 silam itu.
Pria asal Cirebon itu juga menyebutkan bahwa selama ini santri-snatrinya didominasi warga sekitar. Sedikitnya ada 50 santri yang mengeban ilmu di sana. “Kalau pengajarnya ada belasan. Sekarang memang lagi ditinggal santri arena libur,” tuturnya.
Tak cuma lembaga pendidikan saja yang berdiri di atas lahan 100 hektare itu. Di sana juga terdapat bangunan bekas pasar tradisional yang sudah terlihat usang. Sedikitnya ada 41 kios dengan ukuran masing-masing 2,5x3 meter persegi yang dibangun. Namun sayang, seluruh bangunan kosong dan terkesan tidak terawat.
Sudah tiga tahun ini bangunan itu tidak beroperasi. Padahal area pasar tradisional yang ada di kota santri itu telah dilengkapi fasilitas penunjang seperti toilet, kantin dan aula terbuka berukuran 8x3 meter persegi.
Namun, siapa sangka bahwa ponpes di kota santri itu malah jadi temuan KPK. Berdasarkan keterangan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (25/6) silam, mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin (RY) diduga menerima gratifikasi tanah seluas 20 hektare. Pada 2010 silam, seorang pemilik tanah seluas 350 hektare di Desa Singasari dan Cibodas, Kecamatan Jonggol, berencana mendirikan ponpes dan kota santri. Ia berencana menghibahkan tanahnya seluas 100 hektare agar pembangunan ponpes terealisasi.
Pemilik tanah tersebut kemudian menyampaikan maksudnya untuk mendirikan pesantren kepada RY melalui stafnya. RY pun meminta agar dilakukan pengecekan mengenai status tanah dan kelengkapan surat-suratnya. Tepat pada pertengahan 2011, RY melakukan kunjungan ke lapangan di sekitar daerah pembangunan ponpes tersebut.
Melalui perwakilannya, RY menyampaikan ketertarikannya terhadap tanah itu. RY juga meminta bagian agar tanah tersebut juga dihibahkan untuknya. “Pemilik tanah kemudian menghibahkan atau memberikan tanah seluas 20 hektare tersebut sesuai permintaan RY. Diduga RY mendapatkan gratifikasi agar memperlancar perizinan lokasi pendirian ponpes dan kota santri,” paparnya.
Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Suhanda Anda Permana, mengaku tidak bisa memberi banyak keterangan mengenai hal tersebut. Termasuk soal lahan 20 hektare yang diberikan kepada RY.
“Iya memang benar adanya itu. Sebagian tanahnya memang ada di desa kita, sebagiannya lagi ada di Desa Cibodas. Tapi saya juga tidak begitu paham, tanahnya yang mana, jatahnya yang mana, saya tidak mengerti. Yang saya tahu 100 hektare itu adanya di desa kami. Tapi untuk pastinya saya tidak begitu paham, karena waktu itu saya belum jadi kepala desa,” tutupnya. (ogi/d/feb/run)