Senin, 22 Desember 2025

Ponpes Kosong Ditinggal Santri

- Kamis, 27 Juni 2019 | 10:50 WIB

METROPOLITAN - Sebuah gapura usang khas tataran Pasundan bertuliskan ’Selamat Datang di Kota Santri Jonggol Kabupaten Bogor’ me­nyambut penelusuran Harian Metropolitan terkait pondok pesantren (ponpes) 100 hek­tare yang menjadi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berada di Kampung Kebon­kelapa, RT 02/01, Desa Singa­sari, Kecamatan Jonggol, ponpes pimpinan Yayasan Madinatun Najah Mardani Zuhri asal Ja­karta itu berdiri.

Berjarak tak kurang 50 meter dari gapura, sejumlah bangunan tua terlihat dari kajauhan. Untuk sampai di sana, tim harus me­nyusuri jalan desa dengan lebar sekitar 3,5 meter. Suasana di sana tampak sepi. Terlihat ada dua bangunan yang digunakan sebagai pusat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), di bawah naungan Yayasan Madinatun Najah. Masing-masing bangunan memiliki empat kelas berukuran 4x4 meter persegi, yang mehadap tepat ke Masjid Agung yang tengah dalam tahap pembangu­nan.

Selain PAUD, pemilik yayasan pendidikan Madinatun Najah juga rupanya membangun SD dan ponpes di sana. Rafiq, salah satu tenaga pengajar Yayasan Pendidikan Madinatun Najah mengungkapkan, yayasan ter­sebut dipimpin pria asal Ja­karta yang merupakan menan­tu pendiri Ponpes Darunn Najah.

“Pimpinan kami bernama Ustadz Mardani Zuhri, me­nantu dari Kiai Mahrus Amin pendiri dari Ponpes Darunn Najah. Jadi secara tidak langs­ung yayasan ini ada ikatan yang cukup kuat kepada Darunn Najah,” beber pria lulusan Darunn Najah Kuningan 2014 silam itu.

Namun, ia tak menampik bila saat ini kondisinya sepi. Sebab, para santrinya tengah masuk jadwal libur sekolah. Aktivitas belajar mengajar akan kem­bali normal pada pertengahan Juli. “Sejak dua minggu lalu memang santri sudah pulang kampung. Nanti mulai lagi per­tengah Juli,” ujar pria yang sudah mengabdikan dirinya sejak 2014 silam itu.

Pria asal Cirebon itu juga me­nyebutkan bahwa selama ini santri-snatrinya didominasi warga sekitar. Sedikitnya ada 50 santri yang mengeban ilmu di sana. “Kalau pengajarnya ada belasan. Sekarang memang lagi ditinggal santri arena libur,” tuturnya.

Tak cuma lembaga pendidikan saja yang berdiri di atas lahan 100 hektare itu. Di sana juga terdapat bangunan bekas pasar tradisional yang sudah terlihat usang. Sedikitnya ada 41 kios dengan ukuran masing-masing 2,5x3 meter persegi yang di­bangun. Namun sayang, seluruh bangunan kosong dan terkesan tidak terawat.

Sudah tiga tahun ini bangunan itu tidak beroperasi. Padahal area pasar tradisional yang ada di kota santri itu telah dilen­gkapi fasilitas penunjang se­perti toilet, kantin dan aula terbuka berukuran 8x3 meter persegi.

Namun, siapa sangka bahwa ponpes di kota santri itu malah jadi temuan KPK. Berdasarkan keterangan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (25/6) silam, mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin (RY) diduga me­nerima gratifikasi tanah seluas 20 hektare. Pada 2010 silam, seorang pemilik tanah seluas 350 hektare di Desa Singasari dan Cibodas, Kecamatan Jong­gol, berencana mendirikan ponpes dan kota santri. Ia be­rencana menghibahkan tanah­nya seluas 100 hektare agar pembangunan ponpes tereali­sasi.

Pemilik tanah tersebut kemu­dian menyampaikan maksudnya untuk mendirikan pesantren kepada RY melalui stafnya. RY pun meminta agar dilakukan pengecekan mengenai status tanah dan kelengkapan surat-suratnya. Tepat pada pertenga­han 2011, RY melakukan kun­jungan ke lapangan di sekitar daerah pembangunan ponpes tersebut.

Melalui perwakilannya, RY menyampaikan ketertarikannya terhadap tanah itu. RY juga me­minta bagian agar tanah terse­but juga dihibahkan untuknya. “Pemilik tanah kemudian men­ghibahkan atau memberikan tanah seluas 20 hektare tersebut sesuai permintaan RY. Diduga RY mendapatkan gratifikasi agar memperlancar perizinan lo­kasi pendirian ponpes dan kota santri,” paparnya.

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Singasari, Keca­matan Jonggol, Suhanda Anda Permana, mengaku tidak bisa memberi banyak keterangan mengenai hal tersebut. Terma­suk soal lahan 20 hektare yang diberikan kepada RY.

“Iya memang benar adanya itu. Sebagian tanahnya memang ada di desa kita, sebagiannya lagi ada di Desa Cibodas. Tapi saya juga tidak begitu paham, tanahnya yang mana, jatahnya yang mana, saya tidak menger­ti. Yang saya tahu 100 hektare itu adanya di desa kami. Tapi untuk pastinya saya tidak be­gitu paham, karena waktu itu saya belum jadi kepala desa,” tutupnya. (ogi/d/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X