METROPOLITAN - ”Aduh, sakit Pak. Pelan-pelan,” ucap Muhamad Bagir Solehudin, bocah tujuh tahun yang setiap hari harus terpaksa BAB dari perut. Kondisi seperti itu sudah dijalaninya tujuh hari sejak lahir.
Anak pertama pasangan Dedi Sholehudin (45) dengan Siti Mariyam (35) warga Kampung Baru, RT 05/01, Desa Bojongjengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, itu berharap ada keajaiban yang dapat mengubahnya menjadi seperti anak-anak yang lainnya.
Sebelum berangkat kerja, Dedi Sholehudin harus mengurus anak tercintanya mengantar jemput sekolah. Sebab, sehari semalam saja, tiga sampai empat kali Dedi harus mengganti perban plastik Bagir. Dedi mengaku baru mengetahui anaknya tidak memiliki anus saat Bagir berusia tujuh hari.
Dengan rasa penasaran, Dedi dan istrinya membawa Bagir ke RSUD Cianjur. ”Setelah dilakukan pemeriksaan oleh ahli bedah, anak saya tidak memiliki anus. Waktu itu dengan biaya operasi Rp20 juta,” kata Dedi kepada Metropolitan di rumahnya. Setelah dirawat di RSUD Cianjur selama dua bulan, pihak rumah sakit menyarankan agar Bagir dilakukan operasi pembuatan anus.
”Setelah dioperasi, kita bawa pulang. Melakukan kontrol lagi ke RSUD Cianjur, mamun pihak RSUD menyarankan untuk dibawa ke RS Hermina Pastur Bandung pada 2013,” papar Dedi.
Dedi sendiri baru menetap di Ciampea selama satu tahun, yang sebelumnya pindahan dari Kabupaten Cianjur. Ia bekerja sebagai housekeeping Hotel Haerlin di Desa Cinangka. Sedangkan istrinya, Siti Maryiam, merupakan guru honorer di salah satu SMK di Ciampea.
”Dari umur dua bulan hingga tujuh tahun masih anus buatan. Untuk buang kotoran, saya harus pakai plastik kertas. Selama tinggal di Ciampea, seperti biasa,” katanya.
Untuk memulihkan usus anaknya kembali normal, Dedi tengah mengumpulkan dana untuk operasi lanjutan. Namun, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, setidaknya harus mempunyai Rp40 juta, termasuk biaya obat-obatan.
”Gaji istri saya sebagai tenaga pengajar hanya diupah satu jam Rp25 ribu, dari jam 7-12. Bayar kontrakan sebulan Rp500 ribu, belum lagi biaya perawatan anak saya,” ungkapnya.
Dedi juga harus mengganti perban setiap harinya untuk membuang kotoran pada perut Bagir menggunakan tisu. Sebab, ia mengaku bingung membeli perban plastik lantaran hanya bisa didapat di rumah sakit dengan harga Rp85 ribu tiga kali pakai. ”Setiap hari saya harus mengganti perban yang ada kotoran di perutnya. Sehari semalam itu tiga kali pakai. Saat dibersihkan, kadang merasa anak saya kesakitan,” ucap Dedi.
Bagi Dedi dan Mariyam, hal yang paling membuatnya miris ketika Bagir mengeluhkan kondisi perutnya yang sakit. Apalagi ketika bermain dengan teman-temannya, Bagir kerap diejek dengan kata-kata kotor. Namun, ia selalu memberikan semangat agar tetap sabar dan tidak mengeluh. ”Paling saya bilang ke Bagir, ’Sabar ya, jangan marah. Nanti juga Kakak sembuh kalau sudah dioperasi’,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Siti Mariyam mengaku kondisi anak pertamanya itu sangat memprihatinkan, bahkan sudah dilakukan tiga kali operasi. Operasi pertama yaitu pembuatan anus, operasi perekatan usus karena ada yang bocor, dan ketiga pemulihan operasi. ”Setelah dilakukan perawatan operasi di Bandung, anak saya dioperasi lagi di RS Hermina Sukabumi. Sejak saat itu anak saya jarang ngontrol pas mau masuk PAUD di Ciampea,” pungkasnya. (mul/c/mam/run)