Minggu, 21 Desember 2025

Sukses Jadi Dosen hingga Motivator

- Selasa, 10 September 2019 | 09:06 WIB
INSPIRATIF: Ramaditya Adikara saat mengajar di sebuah kampus di Indonesia.
INSPIRATIF: Ramaditya Adikara saat mengajar di sebuah kampus di Indonesia.

METROPOLITAN - Penyandang tunanetra kerap dicap sebagai tukang pijat atau tukang kerupuk. Namun pandangan tersebut berhasil dipatahkan Ramaditya Adikara. Pria yang akrab disapa Rama itu terpilih menjadi dosen tetap pengajar komputer dan kepribadian di sebuah kampus di Indonesia.

Rama menceritakan perjalanannya hingga bisa menjadi pengajar layaknya dosen lain. Terlahir dengan kekurangan, tidak mem­buat Rama putus asa. Sejak kecil, Rama ingin menjadi guru. Beruntung, orang tua Rama selalu mebimbing dan mendukungnya hingga akhirnya bisa menyele­saikan studi S2 di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.­

Ia menggeluti dunia tekno­logi. Berkat keuletannya, ia menjadi komposer game yang mengantarkannya menjadi narasumber di beberapa aca­ra di stasiun tv. ”Alhamdulillah cita-cita saya kesampaian,” ujarnya.

Rama mendapat pesan pendek dari Suarna yang mer­upakan trainer, sekaligus pe­milik LP3I di Pondokgede, Bekasi, yang berisi tawaran menjadi dosen di kampus ter­sebut. Rama pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia resmi menjadi do­sen pada awal Maret 2012.

”Saya juga mengikuti proses wawan­cara dan dinilai memang layak serta lulus menjadi dosen. Saat itu saya memberi kuliah umum untuk seluruh mahasiswa, mu­lai dari tingkat satu hingga tiga,” ujar Rama yang juga seorang motivator.

Ia mengaku tidak ada kesu­litan ketika mengajar di kampus. Rama mengungkapkan, per­kembangan dunia teknologi membuat pekerjaan mudah. ”Saya memasang aplikasi-aplikasi khusus di notebook, semisal aplikasi pembaca layar. Dengan aplikasi ini, saya bisa mengetahui isi notebook dengan mendengarkan infor­masi yang telah diubah ke bentuk suara,” katanya.

Saat presentasi materi pun dijalankan tanpa asisten, mur­ni menggunakan PowerPoint dan Youtube. ”Saat ini semua serba digital, jadi saya berikan tugas juga bentuk digital. Be­gitu juga tugas dari mahasiswa,” terangnya.

Tantangan terbesar baginya sebagai penyandang tunanetra saat berkomunikasi dengan mahasiswa. Untuk mengenal mahasiswa, ia menghafal lebih dari seratus jenis suara. ”Me­mang susah, namun bisa dia­kali dengan menandai maha­siswa yang paling banyak bi­cara, lalu bertahap ke mereka-mereka yang lebih pendiam,” ungkapnya. (idn/mam/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X