METROPOLITAN - Entah apa yang dipikirkan Saningrat (43) dan istrinya, Rusmiati (40). Ia tidak pernah menyangka dirinya akan mampu mengantarkan anak sulungnya, Lailatul Qomariyah (27), menempuh pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya hingga lulus doktor.
Apalagi pasangan suami-istri asal Dusun Jinangka, Desa Teja Timur, Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan, itu sehari-hari hanya menarik becak dan menjadi buruh tani. Saningrat pun menceritakan bagaimana keluarganya mengantarkan anaknya bisa menempuh pendidikan sampai S3.
Lailatul Qomariyah sudah dikenal di keluarganya sebagai anak yang cerdas sejak di bangku SD. Padahal Saningrat tidak pernah memberikan pendidikan khusus kepada anaknya. Saningrat hanya sibuk bekerja sebagai penarik becak dan istrinya menjadi buruh tani. Namun sejak SD, Lailatul terus-menerus mendapat ranking satu.
”Setelah lulus SD, anak saya mendaftar di SMP negeri. Alhamdulillah diterima di SMPN 1 dan SMPN 4 Pamekasan. Namun, pilihannya jatuh ke SMPN 4 Pamekasan. Saya tidak tahu mengapa Lailatul memilih SMPN 4 Pamekasan,” ujar Saningrat.
Selama duduk di bangku SMP, Lailatul yang lahir pada 16 Agustus 1992 itu selalu meraih ranking satu di sekolahnya. Hingga akhirnya ia diterima di SMAN 1 Pamekasan dengan meraih beasiswa. Saat di bangku SMA, Lailatul dianggap orang kaya karena setiap hari selalu diantar dan dijemput dengan becak.
Waktu itu, anak yang bisa diantar dan dijemput becak tergolong anak orang kaya, padahal yang mengantar dan menjemput Lailatul adalah ayahnya sendiri. ”Oleh teman-temannya, Lailatul dibilang anak orang mampu, padahal yang narik becak saya sendiri sebagai ayahnya,” ujar Suningrat.
Entah karena apa, Lailatul memutuskan diri agar tidak diantar dan dijemput ayahnya menggunakan becak. Ia meminta dibelikan sepeda ontel agar tidak merepotkan ayahnya. Sebagai ayah, Suningrat tidak langsung memenuhi permintaan anaknya karena tidak memiliki uang. Untuk memenuhi permintaan anaknya, Suningrat harus menunggu masa panen tembakau usai.
”Untuk membeli sepeda ontel anak saya, saya harus menunggu hasil panen tembakau dan menguras tabungan selama setahun. Waktu itu harga sepedanya Rp1 juta,” ujarnya.(kmp/mam/run)