Hampir sepuluh tahun berjalan, Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) milik Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor kini tidak hanya ‘mengurung kebebasan’ para perokok, tetapi juga pengguna rokok elektrik alias vape. Perda Nomor 12 Tahun 2009 yang sudah direvisi menjadi Perda Nomor 10 Tahun 2018 itu juga mengatur pemasangan display rokok, yang nyatanya tidak mengganggu pendapatan daerah. Sejumlah pelaku usaha vape store mengeluh lantaran tidak ingin perlakuan yang sama dengan larangan display rokok. Padahal, tidak ada pundi-pundi yang masuk dari pembatasan display likuid vape ke kas Pemkot Bogor. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bogor An An Andri Hikmat mengatakan, sejak Perda KTR diberlakukan dan membatasi pemasangan display rokok dan berbagai produk vape serta likiud dan aksesori, sama sekali tidak berpengaruh terhadap pendapatan pajak Kota Bogor. Sebab cukai dari likuid misalnya, tidak masuk jadi pajak daerah. “Sekarang likuid vape di cukai, lalu pemasangan display-nya dibatasi. Ya kalau bicara pendapatan pajak, nggak berpengaruh ya. Secara umum penerapan cukai itu pajak pusat, jadi nggak berpengaruh ke (pemerintah, red) daerah. Sehingga kalaupun diterapkan, ya nggak berpengaruh lah,” katanya kepada Metropolitan, kemarin. Sementara itu, Kepala Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat (PKM) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Erna Nuraena menjelaskan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor rupanya tetap meningkat walaupun ada larangan iklan rokok. Menilik penjualan vape beserta likuidnya yang tidak semasif rokok, diprediksi juga tidak akan memengaruhi pendapatan Kota Bogor. “Memang ke kita bukan cukai rokoknya, tapi pemasukan dari iklan rokok. Toh pendapatan kita tetap meningkat, padahal KTR melarang iklan dan display,” paparnya. Ia menambahkan, masuknya vape dalam aturan tersebut lantaran secara kandungan vape maupun rokok memiliki kesamaan. “Memang vape juga masuk aturan Perda KTR ini karena vape mengandung nikotin dan zat berbahaya lainnya. Hasil penelitian BPOM menilai, baik vape maupun rokok biasa, sama bahayanya,” katanya. Ia menjelaskan, pada vape terdapat propilen glikol atau gliserin yang berfungsi untuk memproduksi uap air. Penelitian menunjukkan bahwa menghirup propilen glikol dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan pada beberapa individu. Nikotin juga ditemukan dalam konsentrasi yang berbeda-beda, antara 0-100 mg/ml dalam satu rokok elektrik. Termasuk likuid yang merupakan salah satu cairan utama penghasil asap pada vape. Tak hanya itu, komponen lainnya yaitu Tobacco-Specific Nitrosamine (TSNA) yang merupakan senyawa karsinogen, yang ditemukan dalam tembakau dan rokok tembakau. Nitrosamine dalam jumlah sedikit juga ditemukan dalam cairan rokok elektrik. “Semakin tinggi kadar nikotin, semakin tinggi juga kadar TSNA. Selain TSNA, pada vape juga ditemukan kandungan senyawa logam, seperti kromium, nikel dan timah. Ini yang menjadi salah satu alasan masuknya vape dalam Perda KTR ini,” tandasnya. Sementara itu, DPRD Kota Bogor Jenal Mutaqin menjelaskan, Perda KTR sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengintimidasi sekelompok golongan semata. Namun lebih kepada penanganan dan penempatan sesuatu pada tempatnya. “Tidak seperti itu. Kita hanya mengatur agar para perokok merokok sesuai tempatnya. Jadi bukan intimidasi. Kita juga kan harus menghargai mereka yang tidak merokok juga. Intinya kita hanya atur tempat mana saja yang dibolehkan dan tidak boleh merokok,” tekannya. Disinggung soal dampak Perda KTR terhadap pendapatan daerah, Jenal juga meyakini sejak lahirnya Perda KTR ini pada 2009 silam, pendapatan daerah dari sektor bagi hasil cukai rokok terbilang stabil. “Saya dulu kan di badan anggaran dewan. Memang cukai rokok itu cukup besar. Tapi sepengetahuan saya, sejak adanya Perda KTR ini 2009 lalu, dana bagi hasil cukai rokok Kota Bogor masih stabil. Tidak mengalami penurunan yang signifikan, masih di angka wajar dan cenderung stabil. Jadi masih dalam kategori aman,” pungkasnya. (ogi/ryn/d/mam/run)