Kabar baik datang bagi warga Kota Bogor. Sembilan hari menyandang status zona merah, kini Kota Hujan berstatus zona oranye atau wilayah dengan risiko sedang. Perubahan status itu berlaku sejak Senin (7/9). ADA beberapa indikator yang menyebabkan status Kota Bogor berubah dan menurun menjadi zona oranye. Dua di antaranya diklaim karena jumlah pasien sembuh lebih banyak dan jumlah pasien yang dirawat menurun sejak Kota Bogor menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Mikro dan Komunitas (PSBMK) pada Sabtu (29/8). Berdasarkan data yang dikeluarkan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Kota Bogor, sejak PSBMK diterapkan pada 29 Agustus hingga 7 September, ada 125 orang dinyatakan sembuh Covid-19. Sedangkan pasien masih sakit hanya 66 orang. Artinya, jika dikalkulasikan selama PSBMK diterapkan selama rentang waktu sepuluh hari, per harinya ada tambahan pasien sembuh sebanyak 12 orang. Sedangkan pasien masih sakit per harinya sebanyak enam orang. Tak hanya itu, Tim GTPP Covid-19 Kota Bogor juga menilai ada faktor lain kenapa status Kota Bogor berubah menjadi wilayah zona oranye. Satu di antaranya yakni jumlah kapasitas terpasang tempat tidur di rumah sakit. ”Ada sebelas sampai 15 indikator yang dinilai. Bukan hanya RT atau RO, Fatality Rate saja, tapi ada beberapa indikator yang perhitungannya diperbaiki. Seperti jumlah kapasitas terpasang tempat tidur di rumah sakit dan jumlah pasien yang dirawat,” kata Ketua GTPP Covid-19 Kota Bogor Dedie A Rachim kepada Metropolitan, kemarin. Untuk tetap menjaga Kota Bogor agar tidak kembali ke zona merah, Pemkot Bogor pun bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menggunakan gedung Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) BNN di Cigombong, Kabupaten Bogor. Kerja sama dilakukan untuk menjadikan gedung dua lantai dengan 23 kamar dan 122 kasur tersebut sebagai pusat isolasi pasien Covid-19 yang berkategori ringan atau Orang Tanpa Gejala (OTG). ”Ke depan, yang OTG diisolasi di instalasi non-faskes di BNN Lido. Dengan demikian, yang berada di rumah sakit hanya yang bergejala medis ringan sampai berat,”tegasnya. Dedie melanjutkan, meski sudah ada tren penurunan tingkat risiko, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor tetap akan melanjutkan kebijakan PSBMK hingga 11 September mendatang, termasuk penerapan jam malam untuk menekan aktivitas warga di luar rumah. “Sudah risiko sedang. Itu pemerintah pusat rilis. Alhamdulillah, meski ada pergerakan ke arah yang lebih baik, kita harus mampu menurunkan terus tingkat risiko secara maksimal,” imbuhnya. Soal kebijakan PSBMK dilanjutkan atau tidak setelah 11 September, Dedie mengaku hal tersebut akan diputuskan merujuk hasil evaluasi yang akan dilaksanakan pada Kamis (10/9). “Kalau itu masih menunggu evaluasi menyeluruh, 10 September mendatang. Namun tentu kita tidak boleh gegabah karena prediksi para ahli epidemiologi justru puncak pandemi baru akan terjadi tahun 2021,” jelasnya. Karena itu, tambahnya, penerapan jam malam dan razia harian kaitan penggunaan masker, aktivitas warga dan pelaku usaha, akan tetap dilakukan hingga evaluasi nanti. “Itu juga tetap ya, kan nggak boleh lengah. Kewaspadaan tetap harus tinggi. Kan (PSBMK, red) baru akan selesai tanggal 11 September nanti,” ujarnya. Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya mengklaim penurunan status ke zona oranye ini terjadi karena diberlakukannya jam malam di Kota Bogor. Sebab, berkurangnya kerumunan warga, potensi penyebaran Covid-19 juga semakin berkurang. ”Jam malam ini efektif, kerumunan berkurang. Soal penyebaran berkurang atau tidak, itu kan dilihat dari kasusnya meningkat atau tidak,” kata Bima. Bima menyebut keberlanjutan pembatasan ini tergantung status Kota Bogor. ”Tapi kita tunggu sampai tanggal 10, seperti apa polanya, evaluasinya. Kemudian akan keluar juga evaluasi dari nasional, apakah Bogor masih merah atau lebih baik,” ujarnya. Di sisi lain, berdasarkan data Tim GTPP Covid-19 Kota Bogor per Minggu (6/9), jumlah terkonfirmasi positif di Kota Bogor ada 734 kasus. Dengan rincian pasien positif sebanyak 264 orang, pasien sembuh 459 orang dan meninggal dunia 33 orang. “Untuk penambahan kasus positif baru sebanyak 22 orang, sembuh sepuluh orang, dalam pengawasan 12 orang dan meninggal tetap atau tidak ada,” kata Juru Bicara (Jubir) GTPP Covid-19 Kota Bogor, Sri Nowo Retno. Berdasarkan data per 3 September, jelasnya, klaster rumah tangga masih menjadi klaster terbesar di Kota Bogor, dengan jumlah terkonfirmasi positif sebanyak 280 orang. Di bawahnya terdapat kategori nonklaster, dengan jumlah terkonfirmasi positif 137 orang. ”Nah, nonklaster ini mereka merasa tidak pernah kontak dengan yang positif, dan memang tidak bisa dikategorikan, ”ujarnya. Berdasarkan hasil kajian epidemiologi, nonklaster ini lahir karena adanya transmisi virus di tempat umum atau fasilitas sosial karena sudah terjadinya transimisi lokal. ”Ini kan artinya sudah tidak jelas lagi mereka tertular dari mana. Jadi saya harap masyarakat agar lebih berhati-hati,” pungkasnya. (dil/c/rez/run)