Belum kering air mata di tengah pagebluk corona, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan dengan masalah baru. Alih-alih gencar memberi bantuan untuk bencana nonalam ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan sejumlah kebutuhan mengalami kenaikan. TERBARU, harga rokok, pulsa, voucer, dan token listrik mengalami kenaikan, yang mulai diberlakukan per Senin (1/2). Otomatis kenaikan itu secara langsung akan mengerek harga keempat kebutuhan tersebut di masyarakat. Untuk kenaikan cukai rokok, pemerintah memutuskan menaikkan sebesar 12,5 persen. Meski begitu, secara umum kenaikan cukai rokokdi masing-masing kelompok atau golongan berbeda-beda. Misalnya untuk produk Sigaret Keretek Mesin (SKM) 2B dan Sigaret Putih Mesin (SPM) 2B kenaikan tarifnya lebih tinggi daripada SKM 2A dan SPM 2A. Hal itu ditujukan untuk mempersempit gap tarif atau sebagai sinyal simplifikasi. Sedangkan untuk jenis Sigaret Keretek Tangan (SKT) ditetapkan tarif cukainya tidak mengalami kenaikan. Hal itu mempertimbangkan sektor padat karya yang masih terpuruk akibat pandemi Covid-19. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Kemenkeu, Pande Putu Oka Kusumawardhani, menjelaskan kenaikan tarif cukai 12,5 persen telah dipertimbangkan secara matang. Salah satu alasannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah Covid-19. “Kami berusaha untuk melihat kondisi ekonomi yang saat ini sedang tidak stabil karena adanya pandemi Covid-19 yang merupakan kejadian luar biasa,” katanya. Ia menyebut kebijakan pemerintah untuk tarif cukai produk SKT tidak dinaikkan. Itu berlaku untuk seluruh jenis SKT, baik SKT golongan IA, golongan IB, golongan II dan golongan III. Untuk diketahui, SKT menyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan SKM dan SPM. Dalam kesempatan itu, untuk potensi kenaikan rokok ilegal, ia juga menyebut pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pengawasan dengan sinergi antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan penegak hukum. ”Pemerintah akan melakukan sidak (inspeksi mendadak, red) rokok ilegal bersama pemda (pemerintah daerah, red) dan TNI-Polri,”jelasnya. Sebagai timbal balik, pemerintah menyusun ulang skema dana bagi hasil mulai untuk kesehatan, untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya petani atau buruh tani tembakau dan buruh rokok, hingga untuk penegakan hukum (law enforcement). ”Kemudian dari sisi illegal activity, kita coba tingkatkan pengawasannya supaya pelaku industri semakin nyaman melakukan aktivitasnya,” ujarnya. Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai kenaikan cukai rokok yang tinggi memang bisa mendorong orang berbuat curang untuk membuat rokok ilegal. Apalagi peredaran rokok ilegalpada 2020 tercatat meningkat tajam menjadi 4,9 persen. Bila dibandingkan setahun sebelumnya, tentu itu harus menjadi perhatian khusus, sebab angkanya di 2019 hanya 3 persen. ”Ini artinya kenaikan cukai yang terlalu tinggi memang harus disertai penegakan hukum,” kata Sri Mulyani. Karena itu, ia mengaku telah menginstruksikan pegawai Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) untuk terus mengupayakan penurunan peredaran rokok ilegal, meskipun situasinya dinilai mustahil. Bendahara negara itu juga mengaku pihaknya akan berupaya agar peredaran rokok ilegal tetap terkendali, meski kenaikan cukai rokok tahun ini sebesar 12,5 persen. ”Kami akan coba tetap pertahankan meskipun harga rokok terus dinaikkan, yang menyebabkan orang akan punya insentif untuk terus melakukan pemalsuan cukai maupun pemalsuan rokok ilegal,” ucapnya. Ia menambahkan, modus pelanggaran yang dilekati pita cukai palsu masih terjadi. Pelanggaran hasil tembakau dengan modus yang dilekati pita cukai palsu itu adalah sebesar 0,36 persen dari total peredaran rokok di Indonesia. ”Penindakan hasil tembakau ini, kalau kita lihat dari 2013, terlihat sesudah 2018, dengan naiknya pengawasan CHT,”terangnya. Di sisi lain, untuk kenaikan harga pulsa, voucer, dan token listrik terjadi karena pemerintah mengenakan pajak penjualan dari ketiganya. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terkait penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Dalam aturan tersebut, ketiga jenis penjualan itu dikenakan PPN sebesar 10 persen untuk setiap penjualan kartu perdana, pulsa, dan voucer listrik yang dilakukan distributor. ”Bahwa kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token, dan voucer perlu mendapat kepastian hukum,” tulis beleid tersebut. Tertuang di Pasal 2, ditegaskan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), berupa pulsa dan kartu perdana, oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara distribusi dikenai PPN. Dengan kata lain, penyedia pulsa dan para penjual pulsa yang akan dipungut pajaknya. Pulsa dan kartu perdana dapat berbentuk voucer fisik atau elektronik. Penyerahan BKP berupa token oleh penyedia tenaga listrik dikenai PPN. Token yang dimaksud merupakan token listrik yang termasuk BKP tertentu yang bersifat strategis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama, mengatakan bahwa pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap penjualan tersebut sudah ada sejak lama. Namun, saat ini diperjelas dalam pengaturan detail. ”PPN pulsa dan kartu perdana selama ini sudah berjalan 10 persen. Ini pengaturan untuk ada kepastian hukumnya,” kata Yoga. Ia menuturkan, sebelumnya pengenaan pajak tersebut diatur untuk keseluruhan PPN, sedangkan saat ini diperjelas. Selain itu, selama ini pajak yang dikenakan berlipat, yakni dari perusahaan penyedia layanan telekomunikasi kepada distributor pertama, dan distributor pertama ke distributor kedua. Kemudian distributor kedua juga memberlakukan PPN bagi penjual retail. Lalu penjual retail juga mengenakan PPN 10 persen ke konsumen, meski pengenaan pajak ke konsumen dinilai tidak dilakukan semua pengecer. Namun, itu membuat pengenaan PPN terlalu berlapis. Karena itu, dengan aturan baru ini PPN dikenakan hanya sampai distributor tahap dua. Sebab, pengecer juga tidak memiliki faktur pajak pemasukan. ”Dengan PMK, dibatasi pemungutan sampai distributor tingkat dua,” ujarnya. Itu juga memberi kepastian bagi penjual pulsa eceran, di mana banyak yang tidak mengenakan PPN bagi konsumennya. ”Jadi sebenarnya sekarang pun kalau kemudian pengecer diperiksa, kok nggak pungut (PPN, red) bisa jadi masalah. Dengan PMK diberikan kepastian, pemungutan PPN jadi sampai tingkat dua,” tegasnya. Sementara itu, untuk pengenaan PPN bagi voucer hingga token listrik yang dipajaki adalah selisih dari harga jual dan nominal voucer atau token. ”Kayak market place jual token dapat fee dari pembeli. Yang terutang PPN yang atas jasa. Bukan nilai tokennya,” imbuhnya. Ia menjelaskan misalnya market place menjual voucer nilai Rp500.000 seharga Rp505.000, maka yang dikenakan PPN adalah selisihnya yang sebesar Rp5.000. ”Jadi, selisihnya yang dikenakan PPN,” tegasnya. (lip/okz/cnb/ rez/run)