Senin, 22 Desember 2025

Serba Naik di Zaman Paceklik

- Selasa, 2 Februari 2021 | 10:08 WIB

Belum kering air mata di tengah pagebluk corona, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan dengan masalah baru. Alih-alih gencar memberi bantuan untuk bencana nonalam ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan sejumlah kebutuhan mengalami kenaikan. TERBARU, harga rokok, pulsa, voucer, dan token listrik mengalami kenaikan, yang mulai diberlakukan per Senin (1/2). Otomatis kenaikan itu secara langsung akan menge­rek harga keempat kebutuhan tersebut di masyarakat. Untuk kenaikan cukai rokok, pemerintah memutuskan me­naikkan sebesar 12,5 persen. Meski begitu, secara umum kenaikan cukai rokokdi masing-masing kelompok atau go­longan berbeda-beda. Misalnya untuk produk Si­garet Keretek Mesin (SKM) 2B dan Sigaret Putih Mesin (SPM) 2B kenaikan tarifnya lebih tinggi daripada SKM 2A dan SPM 2A. Hal itu ditujukan un­tuk mempersempit gap tarif atau sebagai sinyal simplifi­kasi. Sedangkan untuk jenis Siga­ret Keretek Tangan (SKT) di­tetapkan tarif cukainya tidak mengalami kenaikan. Hal itu mempertimbangkan sektor padat karya yang masih ter­puruk akibat pandemi Covid-19. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Ke­menkeu, Pande Putu Oka Ku­sumawardhani, menjelaskan kenaikan tarif cukai 12,5 per­sen telah dipertimbangkan secara matang. Salah satu alasannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah Covid-19. “Kami be­rusaha untuk melihat kondisi ekonomi yang saat ini sedang tidak stabil karena adanya pandemi Covid-19 yang mer­upakan kejadian luar biasa,” katanya. Ia menyebut kebijakan pe­merintah untuk tarif cukai produk SKT tidak dinaikkan. Itu berlaku untuk seluruh jenis SKT, baik SKT golongan IA, golongan IB, golongan II dan golongan III. Untuk diketahui, SKT menyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan SKM dan SPM. Dalam kesempatan itu, untuk potensi kenaikan rokok ilegal, ia juga menyebut pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pengawasan dengan sinergi antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pe­negak hukum. ”Pemerintah akan melakukan sidak (in­speksi mendadak, red) rokok ilegal bersama pemda (pe­merintah daerah, red) dan TNI-Polri,”jelasnya. Sebagai timbal balik, pemerin­tah menyusun ulang skema dana bagi hasil mulai untuk kesehatan, untuk kesejahte­raan masyarakat, khususnya petani atau buruh tani tem­bakau dan buruh rokok, hing­ga untuk penegakan hukum (law enforcement). ”Kemu­dian dari sisi illegal activity, kita coba tingkatkan penga­wasannya supaya pelaku in­dustri semakin nyaman mela­kukan aktivitasnya,” ujarnya. Sementara itu, Menteri Keu­angan (Menkeu) Sri Mulyani menilai kenaikan cukai rokok yang tinggi memang bisa mendorong orang berbuat curang untuk membuat rokok ilegal. Apalagi peredaran rokok ilegalpada 2020 tercatat me­ningkat tajam menjadi 4,9 persen. Bila dibandingkan setahun sebelumnya, tentu itu harus menjadi perhatian khusus, sebab angkanya di 2019 hanya 3 persen. ”Ini artinya kenaikan cukai yang terlalu tinggi me­mang harus disertai penegakan hukum,” kata Sri Mulyani. Karena itu, ia mengaku telah menginstruksikan pegawai Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) untuk terus mengupayakan penurunan peredaran rokok ilegal, meskipun situasinya dinilai mustahil. Bendahara negara itu juga mengaku pihaknya akan ber­upaya agar peredaran rokok ilegal tetap terkendali, meski kenaikan cukai rokok tahun ini sebesar 12,5 persen. ”Kami akan coba tetap pertahankan meskipun harga rokok terus dinaikkan, yang menyebabkan orang akan punya insentif un­tuk terus melakukan pemal­suan cukai maupun pemal­suan rokok ilegal,” ucapnya. Ia menambahkan, modus pelanggaran yang dilekati pita cukai palsu masih terjadi. Pelanggaran hasil tembakau dengan modus yang dilekati pita cukai palsu itu adalah sebesar 0,36 persen dari total peredaran rokok di Indonesia. ”Penindakan hasil tembakau ini, kalau kita lihat dari 2013, terlihat sesudah 2018, dengan naiknya pengawasan CHT,”terangnya. Di sisi lain, untuk kenaikan harga pulsa, voucer, dan token listrik terjadi karena pemerin­tah mengenakan pajak pen­jualan dari ketiganya. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No­mor 6 Tahun 2021 tentang Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terkait penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Dalam aturan tersebut, ke­tiga jenis penjualan itu dikena­kan PPN sebesar 10 persen untuk setiap penjualan kartu perdana, pulsa, dan voucer listrik yang dilakukan distri­butor. ”Bahwa kegiatan pemun­gutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token, dan voucer perlu mendapat ke­pastian hukum,” tulis beleid tersebut. Tertuang di Pasal 2, ditegas­kan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), berupa pulsa dan kartu perdana, oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyel­enggara distribusi dikenai PPN. Dengan kata lain, penyedia pulsa dan para penjual pulsa yang akan dipungut pajaknya. Pulsa dan kartu perdana da­pat berbentuk voucer fisik atau elektronik. Penyerahan BKP berupa token oleh penyedia tenaga listrik dikenai PPN. Token yang dimaksud meru­pakan token listrik yang ter­masuk BKP tertentu yang bersifat strategis sesuai keten­tuan peraturan perundang-undangan di bidang perpaja­kan. Direktur Penyuluhan, Pe­layanan, dan Hubungan Ma­syarakat DJP, Hestu Yoga Sak­sama, mengatakan bahwa pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap penjualan tersebut sudah ada sejak lama. Namun, saat ini diperjelas dalam pengaturan detail. ”PPN pulsa dan kartu perdana se­lama ini sudah berjalan 10 persen. Ini pengaturan untuk ada kepastian hukumnya,” kata Yoga. Ia menuturkan, sebelumnya pengenaan pajak tersebut diatur untuk keseluruhan PPN, sedangkan saat ini diperjelas. Selain itu, selama ini pajak yang dikenakan berlipat, yakni dari perusahaan penyedia layanan telekomunikasi ke­pada distributor pertama, dan distributor pertama ke distri­butor kedua. Kemudian distributor kedua juga memberlakukan PPN bagi penjual retail. Lalu pen­jual retail juga mengenakan PPN 10 persen ke konsumen, meski pengenaan pajak ke konsumen dinilai tidak dila­kukan semua pengecer. Namun, itu membuat pengenaan PPN terlalu berlapis. Karena itu, dengan aturan baru ini PPN dikenakan hanya sampai distributor tahap dua. Sebab, pengecer juga tidak memiliki faktur pajak pema­sukan. ”Dengan PMK, diba­tasi pemungutan sampai dist­ributor tingkat dua,” ujarnya. Itu juga memberi kepastian bagi penjual pulsa eceran, di mana banyak yang tidak mengenakan PPN bagi kon­sumennya. ”Jadi sebenarnya sekarang pun kalau kemudian pengecer diperiksa, kok nggak pungut (PPN, red) bisa jadi masalah. Dengan PMK dibe­rikan kepastian, pemungutan PPN jadi sampai tingkat dua,” tegasnya. Sementara itu, untuk penge­naan PPN bagi voucer hingga token listrik yang dipajaki adalah selisih dari harga jual dan nominal voucer atau token. ”Kayak market place jual token dapat fee dari pembeli. Yang terutang PPN yang atas jasa. Bukan nilai tokennya,” imbuh­nya. Ia menjelaskan misalnya market place menjual voucer nilai Rp500.000 seharga Rp505.000, maka yang dikena­kan PPN adalah selisihnya yang sebesar Rp5.000. ”Jadi, selisihnya yang dikenakan PPN,” tegasnya. (lip/okz/cnb/ rez/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X