METROPOLITAN - Sudah lebih dari setahun sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) digelar akibat pandemi Covid-19. Para pelajar dipaksa menimba ilmu secara online atau daring menggunakan gawai, baik handphone ataupun laptop. Wakil Bupati Bogor Iwan Setiawan mengaku mulai khawatir anak-anak akan kecanduan gadget jika PJJ terus dilakukan. Politisi Partai Gerindra itu pun mendorong digelarnya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Kabupaten Bogor pada Juli mendatang. “Ini tentunya jadi kekhawatiran kita semua, dan sekarang uji coba PTM Terbatas yang dilakukan adalah bagian dari ikhtiar kami untuk menghadirkan pendidikan berkualitas dan meminimalisasi kecanduan gadget di kalangan pelajar,” kata Iwan kepada Metropolitan.id, Minggu (4/4). Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kepada 25.164 anak di 34 provinsi yang dirilis awal 2021, 79 persen anak tidak memiliki aturan penggunaan gawai atau gadget. Kemudian 34,8 persen anak menggunakan gawai 3–5 jam per hari, atau sekitar 25,4 persen penggunaan gawai lebih dari lima jam per hari. Dengan dimulainya uji coba PTM Terbatas di Kabupaten Bogor, Iwan menilai ikhtiar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor untuk memberikan pendidikan yang layak sudah mulai dijalankan. Uji coba PTM Terbatas di Kabupaten Bogor dilaksanakan di 170 sekolah, mulai dari SD, SMP, dan SMA pada 9 Maret–10 April 2021, dengan proses yang ketat seperti skrining hingga kelengkapan sarana prasarana protokol kesehatan yang telah ditetapkan Dinas Pendidikan (Disdik) sebagai panitia penyelenggara. Untuk mekanisme PTM Terbatas, murid berada di sekolah maksimal dua jam atau 120 menit, pembelajaran maksimal dilakukan 20 murid, dan pengaturan ruang kelas sesuai protokol kesehatan, mulai dari posisi duduk hingga jarak antarbangku siswa selebar 1,2 meter. Selain itu, tidak ada pembukaan kantin di zona pendidikan. “Sejauh ini tidak ada kendala yang signifikan dalam pelaksanaan PTM Terbatas. Mayoritas sekolah yang jadi percontohan atau model telah memenuhi kriteria dan persyaratan baik ketersediaan sapras maupun penunjang lainnya,” jelas Iwan. KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, dalam masa pandemi Covid-19, anak-anak terisolasi dan belajar dari rumah selama berbulan-bulan. Hal itu pun akan berdampak bagi mental anak-anak. Mulai dari mengalami kejenuhan, penurunan minat belajar, terpapar konten negatif akibat aktivitas penggunaan internet yang sangat tinggi, dan naiknya risiko kesehatan anak akibat aktivitas yang minim. Teknologi sendiri seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan komunikasi dan menghilangkan jarak, namun kehadirannya juga memiliki ruang-ruang gelap. Di mana predator seksual, industri hoaks, dan industri pornografi menyasar anak-anak. Dunia digital merupakan ruang publik yang mungkin saja tidak aman dan tidak ramah bagi anak-anak. Padahal di masa pandemi ini, anak-anak kerap memegang gadget untuk mengisi waktu luang usai mengikuti PJJ secara daring. “Anak harus dijaga dari kemungkinan kejahatan di dunia maya, seperti perundungan siber, kejahatan seksual, dan penipuan. Karena semua aktivitas belajar dipindahkan ke rumah, maka perundungan di dunia nyata berpindah ke dunia maya, selama pandemi KPAI menerima beberapa pengaduan siber bully oleh teman sekolah korban,” ujar Retno Listyarti lewat keterangan tertulis, Senin (27/7). Peran orang tua untuk mendampingi dan mengawasi anak-anaknya dalam mengakses internet sangat penting dan diperlukan. Hal itu menjadi berat ketika para orang tua mulai keluar rumah untuk berkerja. Diperlukan kerja sama guru dan orang tua untuk mengedukasi dan membantu anak mengakses internet dengan benar. “Akses internet yang meningkat selama pembelajaran daring juga membuat anak mudah menumpahkan kegalauannya melalui media sosialnya. Padahal perilaku tersebut memiliki potensi bahaya yang tinggi baginya, karena bisa ditangkap para predator anak di dunia maya, sehingga anak terancam mengalami eksploitasi seksual,” pungkasnya. (dil/b/fin/run)