Steven Nugraha Kaligis (Steven Coconut Treez) berpulang sehari setelah dinyatakan negatif Covid-19. Dalam deraan sakit ginjal selama tiga tahun terakhir, ia tetap menggarap album baru yang tengah disiapkan untuk dirilis. MENEKUNI reggae adalah ujian keteguhan. Meski populer, basis pasar genre musik yang lahir di Jamaika itu tidak besar. Jarang yang bisa bertahan lama. Namun, sejak awal berdiri, Steven Nugraha Kaligis demikian yakin dengan musik pilihannya tersebut. Tepeng, sapaan akrab Steven, membuktikan keteguhannya mengambil jalan bermusik. Lebih dari satu setengah dekade setelah album The Other Side yang di dalamnya ada lagu Bebas Merdeka tadi dirilis, pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1975, tersebut kukuh bertahan. Menempatkannya dalam tarikan napas yang sama dengan para jawara reggae Tanah Air seperti Tony Q Rastafara, Ras Muhamad, dan Shaggy Dog. ”Dari kacamata saya, dia memang sudah pantas disebut legenda musik reggae di Indonesia,” kata pengamat musik Idhar Resmadi. Tepeng teguh meniti jalan reggae di tengah berbagai onak. Ia menjiwai benar semangat perlawanan yang dibawa musik pilihannya tersebut. Jiwa yang merdeka, bebas, dan egaliter terus menjadi pengenal khas Tepeng. ”Dia itu supel dan humble. Itu yang bikin semua orang senang sama dia,” ungkap manajer Tepeng dan bandnya, Putra. Formasi terkini Steven & Coconut Treez terdiri atas Tepeng (vokalis), Teguh Wicaksono (gitaris), Rival Himran (basis), dan Aci (drumer). Berdiri di Jakarta sejak 2005, Tepeng adalah pendiri sekaligus motor band yang telah menelurkan empat album tersebut. Meski namanya sudah sedemikian lekat, bahkan mungkin lebih dikenal ketimbang bandnya, Tepeng dengan rendah hati meminta nama band diubah. ”Dia mengaku segan dengan personel lain. Padahal, personel lain tak pernah mempermasalahkan,” ujar Putra. Akhirnya, pada 11 April lalu nama band resmi diganti menjadi Coconut Treez. Pohon kelapa, salah satu penanda alam tropis, juga seperti mewakili ‘nirwana’ yang diangankan Tepeng. Dalam Welcome to Paradise yang juga termaktub dalam album pertama, ia mengangankan dunia sebagai tempat semua orang bisa bersantai dan minum-minum di bawah langit yang biru dan matahari yang bersinar terang. Tempat semua orang hidup dalam damai dan harmoni tanpa pertengkaran, tanpa omong kosong. Perubahan nama itu terjadi saat kondisi fisik Tepeng mulai menurun. Tiga tahun terakhir, dia mengalami masalah dengan ginjalnya. Namun, menurut Putra, tak pernah sekali pun Tepeng mengeluh. Ia juga melarang keras orang-orang di sekitarnya mengungkap kondisinya tersebut ke publik lewat medium apa pun. Apong, sang adik, menyebut kakaknya itu memang kebal dari sindrom popularitas. Tak pernah sekali pun dia mendompleng ketenaran untuk keperluan apa pun. ”Saya diharuskan berkarier dari bawah. Cara Bang Tepeng didik saya berbeda dengan kakak-kakak saya yang lain,” jelasnya. Pertengahan bulan ini, cobaan lain mendera ayah satu anak itu. Dia terkena Covid-19. Sempat menjalani isolasi mandiri di rumah selama seminggu, pihak keluarga memutuskan bahwa Tepeng dibawa ke rumah sakit. Upaya itu dilakukan agar Tepeng bisa mendapat perawatan maksimal. Namun, di rumah sakit pun kejahilannya tak pernah hilang. Putra mengenang, pada Senin malam lalu setelah siangnya dinyatakan negatif, Tepeng masih sempat bercanda dengan suster. ”Dia tuh jahil, semuanya pasti kena. Tapi, yang paling sering dijahilin si Rival,” ucapnya. Pada Senin itu juga, kepada Apong, Tepeng sempat menyatakan kangen kepada sang anak yang kini berusia delapan tahun. Sang putri yang bernama Cataleya Syauqina menjadi penyemangatnya untuk sembuh. ”Sempat ngomong sama istri dan anaknya, ’Tunggu papa pulang’,” tutur Apong. Ternyata nasib berkehendak lain. Ketika hendak diboyong pulang, penyakit ginjal Tepeng kambuh. Itu juga terjadi, lanjut Putra, karena efek Covid-19. Kemarin (22/6) pukul 07:30 WIB musisi yang bersiap merilis album kelima bersama bandnya dengan materi yang telah 70 persen selesai digarap itu akhirnya memang ‘pulang’. Tidak ke rumah, tapi ke keabadian. Ke tempat dia ‘bebas merdeka’ dari semua sakit. Ke tempat semua orang bisa bersantai di bawah langit biru dan matahari yang bersinar terang. (jp/feb/run)