Senin, 22 Desember 2025

Eksistensi Komunitas Taring Padi Berkarya, Sampaikan Pesan lewat Wayang Kardus

- Selasa, 28 September 2021 | 10:20 WIB

Tema lingkungan, kudeta militer, sampai woro-woro Agustusan, semua bisa dilakukan lewat wayang kardus. Workshop keliling yang telah dan sedang dilakukan Taring Padi akan ditampilkan dalam pameran di Jerman. LEWATNYA, pesan, berita, dan dukungan bisa disampaikan. Tentang macam-macam: mulai peno­lakan kudeta militer, lingkungan, hingga woro-woro Agustusan. ”Bisa juga untuk seruan di kampung, misal dilarang buang sampah sembarangan,” kata Raung Singosari, salah seorang anggota Taring Padi. ­ Bebe, sapaan akrabnya, membincangkan wayang kar­dus. Kreasi yang semula di­latari semangat pemanfaatan sampah dan kemudian men­jadi metode bercerita. Mulai awal bulan ini, Taring Padi, komunitas yang didiri­kan di Yogyakarta pada 1998, melakukan tur workshop wayang kardus ke tiga kota di Jawa Timur: Jember, Malang, dan Surabaya. Ada lima orang dari Taring Padi yang bergerak dengan dibantu jejaring komunitas-komunitas setempat. Sejak awal berdiri, Taring Padi dikenal lewat karya seni yang kritis kepada penguasa. Di ‘kandangnya’, Taring Padi melejit lewat mural dan pos­ter. Selain lewat visual, bebe­rapa anggota yang mahir bermusik tergabung di Sekar Madjoe dan DK, singkatan Dendang Kampungan. Meski merupakan komuni­tas, Taring Padi sangat ter­buka pada kegiatan kolektif lain maupun yang digagas masyarakat. ”Kalau diperlukan, poster atau karya kami bisa dipinjam. Pas festival, wayang kardus yang kami buat juga ikut dipamerkan,” ungkap Yayak Yatmaka, perupa Taring Padi yang bermukim di Sura­baya. Bebe menjelaskan, workshop wayang kardus dilaksanakan lebih dulu di Yogyakarta. Pelaksanaannya dua kali. Pertama, di Omah Buku Kre­atif di Kampung Ledok Tu­kangan, Kali Code. Kemudian dilanjutkan di Survive! Ga­rage. Wayang kardus punya seja­rah sama panjangnya dengan eksistensi Taring Padi. Karya seni itu menjadi andalan komunitas tersebut selain seni cukil kayu dan lino block. Karena digunakan dalam arak-arakan, ukurannya dibuat life-size. Tinggi rata-ratanya mencapai 1,5 meter. Belum termasuk tambahan penyang­ga bambu. Tujuan awalnya, ‘memper­banyak’ pasukan di tengah demo reformasi 1998. ”Bisa juga jadi alat pelindung. Ke­tika diginikan (diangkat), ia jadi benteng. Ketika diarahkan ke depan, jadi senjata,” ujar Bambang Kristiono, salah seorang pengurus Taring Padi. Saat mengunjungi Surabaya pada 7–8 September lalu, Ta­ring Padi berpartner dengan Serikat Mural Surabaya. Di Jember, mereka menggandeng Museum Huruf. Di Malang, Taring Padi bersama komu­nitas tuan rumah –Pena Hitam dan Titik Dua Kolektif– meng­gandeng warga Kampung Warok, Desa Sumbersekar, Kabupaten Malang. Menurut Bebe, acara serupa dilaksanakan di Jerman. Akhir pekan lalu, personel komuni­tas yang tinggal di sana menga­dakan workshop bersama Soydivision Collective, Berlin. ”Kabarnya, di situ bakal di­buat tur juga,” imbuhnya. Tur di tiga tempat di Jawa Timur itu masih permulaan. Workshop wayang kardus bakal dilanjutkan ke Jawa Tengah. ”Teman-teman ma­sih planning, tapi kabarnya ke Kendeng, Pati, Rembang, Blora, lalu lanjut ke Wadas,” papar Mbeng, sapaan akrab Bambang Kristiono. Wadas adalah desa di Pur­worejo yang tengah dilanda konflik tanah. Warga menolak penambangan batu andesit dan pembangunan Bendun­gan Bener. Isu lingkungan di Wadas itu juga ikut meramaikan work­shop wayang kardus di Sura­baya. Yayak membuat dua wayang bertema penolakan warga tersebut. Satu berupa seorang emak membawa pisau dan padi dengan pita bertulis Save Wadas. Satu lagi sepasang petani dengan gaman yang menduduki babi terikat di atas pundi bertulis korupsi. ”Kami keluarin wayang ten­tang itu untuk contoh bahwa saat ini ada isu yang meny­angkut hidup orang banyak,” tutur Yayak. Bebe, yang mengikuti rang­kaian tur Jawa Timur, menyebut workshop maraton tidak menuntut banyak modal. Ba­han dan alat disediakan komu­nitas tuan rumah. Taring Padi memboyong beberapa peranti sebisanya. Tidak ada pakem yang mengi­kat agar ide tak macet. Ter­masuk untuk karakter yang dibuat. Di workshop di Malang dan Jember yang diikuti anak-anak, misalnya, ada wayang berupa pot bunga sampai tokoh kartun. Semuanya ber­dasar pengamatan sehari-hari dan kreasi si pembuat wayang kardus. Tantangannya justru ada pada peserta yang maju-mundur, bahkan tidak mau menggambar karena tidak percaya diri. Takut hasilnya jelek.(feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X