Senin, 22 Desember 2025

Prasetyo Nurhardjanto Habiskan Waktu Isoman dengan Menulis Buku, Hasil Penjualan Bantu Anak-Anak Penderita Kanker

- Jumat, 8 Oktober 2021 | 10:30 WIB

Pendakian ke Everest, menjadi relawan di Rumah Bunda Teresa, dan kedekatan dengan para penderita kanker adalah sebagian yang disampaikan Prasetyo Nurhardjanto dalam bukunya. Yang ditulis setelah ia sempat merasa hidupnya sudah berada di ujung tanduk akibat deraan Covid-19. BEGITU pekerjaan kantor tuntas diselesaikannya, dengan segera Prasetyo Nurhardjanto mengontak rumah sakit yang tadi meneleponnya. Rumah sakit tersebut meminta Prasetyo mendonor­kan trombosit untuk seorang pasien kanker. Karena sedang ada tugas yang tak bisa ditinggal, ia minta waktu. Namun, kabar dari seberang telepon memu­kulnya dengan keras. ”Pihak rumah sakit bilang tidak jadi donor karena pasiennya sudah meninggal,” kenangnya. Itu satu pasase saja dari lin­tasan hidup pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 31 Agustus 1971, tersebut yang penuh warna. Dia bekerja di bagian human resources dan general affair sebuah perusahaan e-commerce, tapi juga gemar mendaki dan traveling serta punya banyak pengalaman sebagai relawan. Termasuk menjadi ketua bidang pelatihan relawan Satgas Penanganan Covid-19 Badan Nasional Penanggu­langan Bencana (BNPB). Dan, semua kisah hidupnya itu dia rangkum dalam Berbagi Ke­baikan, buku yang ditulisnya sembari menjalani isolasi mandiri (isoman). Setelah ia bertarung dengan keras melewati masa-masa kritis sebagai pasien Covid-19. ”Kebetulan, saya hobi menu­lis. Dan, berada di hotel untuk menjalani isoman kan berar­ti nggak bisa ngapa-ngapain,” katanya. Pada September tahun lalu itu, kondisinya begitu parah. Nyaris seluruh gejala Covid-19 dia rasakan. Mulai diare, ke­hilangan indra penciuman, hingga tak nafsu makan. Dia bahkan sempat merasa saat itu adalah ujung dari hidupnya. Apalagi, Prasetyo sempat ke­habisan stok oksigen. Namun, akhirnya dia bisa melewatinya. Keluar dari ru­mah sakit, Prasetyo menja­lani isoman di salah satu hotel di Jakarta Pusat. Di si­nilah ide dan eksekusi buku itu berlangsung. ”Kebetulan, saya hobi menulis,” ujar pria yang bekerja di Satgas Covid-19 secara sukarela tersebut. Berbekal sebuah laptop yang selalu dibawanya, bahkan ke­tika dirawat di rumah sakit, Prasetyo mulai menulis. Ia tak sepenuhnya berangkat dari nol. Sebab, ada beberapa ma­teri tulisan yang sebelumnya pernah dia unggah di laman Facebook miliknya. Dia hanya merapikan bagian-bagian ter­tentu. Sambil ada yang angle-nya diubah sedikit. ”Saat isoman di hotel, saya menulis kapan saja. Bisa pagi, siang, atau ma­lam,” ungkap alumnus Hu­bungan Internasional Univer­sitas Jember (Unej) tersebut. Akhirnya, setelah menjalani tujuh malam isoman di hotel, dia merampungkan buku yang ditulisnya. Ini sepenuhnya proyek amal. Sebab, seluruh hasil penjualan buku tersebut ia sumbangkan ke Komunitas Taufan, komunitas yang mem­berikan pelayanan kepada anak-anak penderita kanker. Secara resmi diluncurkan pada Desember tahun lalu, buku Prasetyo dicetak 1.000 eksemplar pada tahap awal. Dan, saat ini dia menyebut lebih dari 700 eksemplar su­dah laku. Buku itu semacam bunga rampai kehidupan. Merangkum banyak hal. In­tinya adalah refleksi hidupnya dengan tujuan berbagi kehidu­pan kepada orang lain. Pengalamannya terkena Covid-19 salah satu yang dia bagi lewat buku tersebut. Pra­setyo aktif di Satgas Covid-19 sebagai relawan sejak Maret 2020. Tugas itu menuntutnya berinteraksi dengan banyak pasien Covid-19. Selain itu, dia aktif melatih para relawan. Hingga kemudian, pada September 2020, dia dinya­takan positif. ”Yang diserang pertama itu psikologis. Saya kok bisa kena ya. Baru kemu­dian fisik,” ungkap jebolan pendidikan reguler Lemhan­nas 2013 tersebut. Prasetyo menuliskan pula pengalaman saat menjadi relawan bencana alam gem­pa di Palu, Sulawesi Tengah. Juga pengalamannya menda­ki Gunung Everest sendirian (solo) pada 2018. ”Waktu itu saya mendaki Everest Base Camp dengan ketinggian 5.800 meter di atas permukaan lain,” ungkapnya. Misi utama pendakiannya saat itu adalah amal. Dia meng­galang dana dan terkumpul hampir Rp30 juta. Dana ter­sebut kemudian dia sumbang­kan untuk kegiatan sosial. Pengalaman menjadi relawan selama 12 hari di Rumah Bunda Teresa di Kalkuta, In­dia, pada 2019 juga ditulis dalam bukunya. Itu ia lakukan dengan memanfaatkan jatah cuti kantornya. Secara khusus, Prasetyo me­milih menjadi relawan di Ka­lighat, tempat Bunda Teresa kali pertama memberikan pelayanan pada 1950. Di tem­pat tersebut, ada sekitar 80 pasien yang sudah sekarat. ”Kami bertugas mencuci pa­kaian dan seprai mereka,” je­lasnya. Kegiatan kerelawanan lain yang dia lakukan adalah me­nemani para pasien rekreasi. Kegiatan rekreasinya seder­hana. Ada yang memilih un­tuk mewarnai, bernyanyi, dan bermain menyusun lego. Tugas lainnya adalah menyi­apkan makanan. Prasetyo juga menuliskan pengalamannya memimpin kerelawanan di Satgas Co­vid-19. Pada Maret 2020 itu, bulan pertama Indonesia masuk pandemi, semua orang tergagap-gagap. Di dalam buku tersebut, Pra­setyo juga bercerita tentang aktivitasnya sebagai pendonor. Baik ketika awal mendonorkan darah maupun saat belakangan beralih menjadi pendonor trombosit yang umumnya di­gunakan untuk pasien kanker. ”Ini saya ceritakan pada bab sendiri. Judulnya Berbagi dengan Yang Sakit,” katanya. Pria dengan golongan darah O+ itu mulai berdonor pada 1989. Hingga 2011, ia sudah sekitar 70 kali mendonorkan darah. Kemudian, pada 2011, ia mengenal adanya donor trombosit. Menjadi pendonor trombo­sit ini pula yang mendekatkan Prasetyo dengan para pende­rita kanker. Dia jadi mema­hami betapa mematikan penyakit tersebut. Namun, sejatinya banyak orang yang bisa memberikan harapan hidup kepada pasien kanker. ”Salah satunya dengan men­jadi pendonor trombosit,” katanya. (jp/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X