Jamuran, suara pita kaset menghilang, atau kertas dimakan rayap adalah sebagian kendala yang mengadang upaya penyelamatan arsip-arsip DKJ. Melihat foto-foto pertunjukan teater Rendra menjadi penyemangat berharga di tengah tumpukan aral itu. TANTANGAN yang dia hadapi tidak mudah. Pita kaset yang rusak atau jamuran, foto yang tak jelas lagi gambarnya, atau dokumentasi cetak yang warna kertasnya sudah menguning. Belum lagi perkara terbatasnya fasilitas, dana, dan sumber daya manusia. Tapi, Esha Tegar Putra mengaku sangat menikmati tugasnya sebagai peneliti Komisi Arsip dan Koleksi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). ”Old school memang, tapi asyik banget. Puas,” katanya kepada Jawa Pos, Kamis (21/10) pekan lalu. Apalagi ketika pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, itu menemukan banyak ‘harta karun’ yang tersembunyi di antara tumpukan ratusan ribu arsip tersebut. Melihat foto-foto sekaligus membaca lembaran-lembaran peristiwa di masa lampau yang sebelumnya tidak dia ketahui informasinya. Misalnya, ketika mendapati kliping berita atau ulasan dan foto-foto pentas seni dari tanah kelahirannya. ”Atau saat melihat foto-foto Bengkel Teater-nya (W.S.) Rendra,” kata Esha yang juga dikenal sebagai penyair sekaligus penggagas Padang Literary Biennale itu. Inventarisasi, restorasi, serta digitalisasi ribuan arsip DKJ dari berbagai disiplin seni itu sebenarnya berlangsung sejak 2019. Tapi, tidak selalu berlangsung tiap bulan. Adapun tahun ini berjalan mulai Juli sampai Desember nanti. Sejak awal berdiri pada 1968, DKJ menyimpan ratusan ribu warisan arsip analog yang berisi dokumentasi kegiatan, rekaman, dan data seniman. Ada yang berbentuk audio, foto, video, kliping, buku program, brosur, tiket, hingga poster pertunjukan seni yang pernah digelar. Juga koleksi karya seni dalam bentuk lukisan, karya kertas, dan objek trimarta dari para perupa yang pernah menggelar pameran di Galeri Cipta sejak 1971. Usia arsip-arsip itu yang semakin renta menyadarkan sejumlah pihak, khususnya Komisi Arsip DKJ. ”Kondisinya (arsip, red) sudah rawan. Digitalisasi itu ya salah satu cara menyelamatkannya,” ujar Ketua Komisi Arsip DKJ Farah Wardani saat dihubungi secara terpisah. Kebanyakan arsip yang harus diselamatkan itu dalam kondisi memprihatinkan. Entah karena lapuk, jamur, atau dimakan rayap. ”Beberapa pita kaset suaranya juga nggak begitu jelas lagi,” kata Esha. Lebih dari 300 ribu arsip DKJ tercatat dan tertumpuk di dalam kardus-kardus. Tidak hanya berisi data atau dokumentasi para seniman yang terlibat dalam acara-acara DKJ. Namun juga seniman lepas di daerah-daerah lain yang memiliki ciri khas. Termasuk pelaku seni yang booming pada zamannya, antara lain pedangdut Inul Daratista dan grup musik Bimbo. Namun, menurut Esha, belum ada setengah dari total jumlah tersebut yang dapat didigitalkan. Itu disebabkan terbatasnya jumlah dana, fasilitas, serta sumber daya manusia. ”Mungkin hanya sekitar 30 persen yang sudah dikerjakan,” jelasnya. Audio yang dulu direkam menggunakan kaset kini didigitalkan dengan direkam ulang. Melalui sebuah alat tape yang disambungkan ke aplikasi di komputer sehingga bisa berubah menjadi format MP3. Esha mengatakan, rata-rata total rekaman tersebut berdurasi 60–90 menit. Sementara itu, arsip-arsip cetak seperti foto diselamatkan dengan cara di-scan. Jika telanjur rusak, cetakan fotonya harus dipindahkan ke dalam album baru. Lalu, disusun berdasar penataan awal. Karena itu, menurutnya, pekerjaan tersebut tak hanya memerlukan kemampuan teknis yang benar. Tetapi juga perlu menggunakan perasaan terhadap kepedulian arsip. Mengedepankan kesabaran serta kehati-hatian. ”Harus orang yang aware dan paham (arsip-arsipnya, Red). Kalau cuma scan, siapa pun bisa mengerjakan,” terang Esha. Sementara itu, video yang dulu direkam dengan betamax dikerjakan khusus oleh ahlinya. ”Ada tempat pengerjaannya sendiri karena memang perlu orang khusus,” jelas Esha. Digitalisasi arsip itu dimaksudkan untuk membuat metadata yang nanti terkoneksi dalam satu sistem di komputer. Dengan begitu, lanjut Esha, semua dokumentasi yang berbentuk foto, berita kliping, ulasan, dan lainnya saling terkoneksi. Itu akan memudahkan masyarakat, terutama mereka yang memerlukan data-data tersebut, baik untuk kebutuhan pribadi maupun umum. ”Jadi, nanti kalau mau cari nggak makan waktu,” tutur penulis sajak, antara lain Nyanyi Sunyi dan Tahun Kecil, itu. Namun, dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk mencapai tujuan tersebut. Diperkirakan bisa terwujud dalam 5–6 tahun ke depan. ”Semua bisa dicicil, bergantung SDM-nya juga. Karena ini bukan kerjaan teknis pustakawan aja, tapi berhubungan dengan IT (information technology),” paparnya. Ia juga berharap DKJ bisa memiliki ruang arsip tersendiri yang layak alias memadai. Ber-AC untuk menampung koleksi lukisan dan kaset. Sirkulasi udara juga harus lancar supaya suhu ruangan tetap terjaga. Tidak terlalu dingin atau panas. Sebab, ruangan yang lembap berisiko membuat arsip cepat berjamur. Kemudian, memisahkan ruangan arsip yang diperbolehkan diakses publik dan tidak. Sebab, terang Esha, tidak semua arsip seharusnya bisa diakses atau dilihat masyarakat luas. ”Jadi, itu memang mimpi kami. Semua memang harus difasilitasi supaya arsip ini terjaga dengan baik,” ujarnya. Sayangnya, menurutnya, pemerintah belum memberikan perhatian atau dukungan maksimal. Wawa, sapaan akrab Farah Wardani, juga berpendapat demikian. Ia mengaku pihaknya sudah mengajukan ke otoritas terkait sejak tahun lalu. Namun, hingga sekarang belum ditemukan titik terang. ”Sepertinya masih harus diupayakan. Kami harus memberi kesadaran kepada pemerintah untuk memberikan SDM serta fasilitas,” papar Wawa. Sejauh ini, pihaknya menyiasati dengan bekerja sama bareng sejumlah institusi untuk merawat arsip-arsip tersebut. ”Sebab, kami menyadari DKJ tidak bisa bergerak sendiri menyelamatkan ratusan ribu arsip tersebut,” tandasnya. (jp/feb/run)