Senin, 22 Desember 2025

Jalan Panjang Prof Adi Utarini Jadi Peneliti dan Tokoh Berpengaruh, Jadi Asisten Juru Malaria Desa sampai Cetak 30 Karya Penelitian

- Rabu, 1 Desember 2021 | 10:20 WIB

Ketelatenan meneliti serta kegemaran menulis Prof Adi Utarini didapat berkat bimbingan sang ayah. Sudah menelurkan puluhan karya riset dan publikasi ilmiah internasional. ADI Utarini menempuh S-3 saat itu. Namun, dengan sengaja ia melamar menjadi asisten Juru Malaria Desa (JMD). ”Saya harus bisa bergaul dan menyelami apa yang mereka lakukan,” ujarnya kepada Jawa Pos. Di Jepara Jawa Tengah pada 1999 itu, Prof Uut –demikian sapaan guru besar Fakultas Kedokteran, Kese­hatan Masyarakat, dan Kepe­rawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tersebut– tidak sedang men­cari pendapatan tambahan. Ia tengah melakukan peneli­tian bertema malaria. Dan, JMD adalah juru tombak pemberantasan malaria di desa-desa. ­ Riset di Jepara itu hanya satu di antara sekian banyak pe­nelitian sepanjang karier akademik perempuan 56 tahun tersebut. Yang membawanya ke dalam daftar sepuluh pe­neliti paling berpengaruh di dunia versi jurnal ilmiah Na­ture pada Desember 2020. Juga masuk daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia 2021 versi majalah terkemu­ka Time berkat penelitian Utarini dan tim tentang Wol­bachia yang dilakukan sejak 2011. Mereka menginokulasi nyamuk penyebab demam berdarah Aedes aegypti dengan Wol­bachia. Yaitu, bakteri yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi bisa mencegah nyamuk menularkan demam berdar­ah melalui gigitannya. ”Ayah saya yang mengenalkan kesederhanaan serta keteku­nan dalam meneliti dan me­nulis,” kata putri Prof M Ram­lan (almarhum), guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, tersebut. Ketekunan dan kegigihan itu pula yang dia tunjukkan di Jepara. Sebagai asisten, dia harus bekerja sama dengan para JMD yang saat itu may­oritas lelaki dari beragam latar belakang. Selain itu, dalam praktiknya, tentu saja Utarini harus mem­bawa berbagai peralatan JMD dan mengendarai sepeda motor berkeliling di desa-desa. ”Mencari warga yang katisen atau menggigil dan terindikasi sakit malaria,” ungkapnya. Setelah penelitian itu selesai, silaturahmi antara Utarini dan para JMD tidak putus begitu saja. Beberapa kali mereka yang sangat membantunya melakukan penelitian itu diajak jalan-jalan ke Yogya­karta. ”Piknik ke Jogja bareng-bareng. Hubungan kekeluargaan ter­jalin sangat baik. Ini yang sebenarnya mematangkan sebagai peneliti,” jelas perem­puan yang menyelesaikan S-3 di Universitas Umea, Swedia, tersebut. Kisah penelitian lain terjadi pada 2004. Saat itu Utarini meriset strategi DOTS (di­rectly observed treatment short course) dalam penanganan tuberkulosis (TB). Program itu hanya dijalankan di pus­kesmas. ”Pertanyaannya tentu mengapa hanya puske­smas,” katanya. Padahal, strategi DOTS efek­tif dalam menemukan dan mengobati pasien TB. Dengan beragam fasilitas kesehatan yang ada seperti klinik dan rumah sakit, apakah ada kesu­litan menerapkan strategi DOTS. Utarini lalu memulainya dengan mencari data dokter praktik, klinik, hingga bidan dan perawat yang berpraktik di Yogyakarta. Masalahnya ditemukan. Ternyata dinas kesehatan belum tentu mem­punyai data-data tersebut. ”Sebab, puskesmaslah yang memiliki kewajiban melapor ke dinas kesehatan. Nah, dok­ter praktik tidak memiliki kewajiban melapor ke siapa-siapa,” jelasnya. Saat itulah Utarini mulai men­cocokkan data yang dimiliki dinas kesehatan dengan data organisasi profesi. Tujuannya, menemukan, menyurvei, dan meneliti dokter praktik yang memungkinkan menangani pasien TB. ”Juga berupaya agar dokter praktik mau be­kerja sama dengan puskesmas,” terangnya. Caranya, setiap dokter prak­tik yang memiliki jaringan ke puskesmas bisa mendapatkan obat TB gratis. Dia mengung­kapkan bahwa penelitian ini sebenarnya bertujuan mem­buat jejaring penanganan pasien TB antara swasta dan puskesmas. Lewat jejaring tersebut, akhir­nya dapat diketahui dengan pasti jumlah pasien TB yang sebenarnya. ”Ternyata pasien TB di swasta itu bisa menca­pai 15–20 persen dari total pasien TB,” jelasnya. Penelitian itu pun mampu menemukan 15–20 persen pasien TB sejak dini di Yo­gyakarta. Jadi, mereka nanti bisa mendapatkan obat pro­gram TB secara gratis. ”Tapi, saya tidak berani menyebut mereka mendapat obat pro­gram seluruhnya. Mungkin ada yang mendapat dan mun­gkin ada yang tidak bisa mendapat,” ujarnya. Yang pasti, penelitiannya mendorong perluasan DOTS untuk dokter praktik dan kli­nik. Setelah Yogyakarta, membangun jejaring untuk DOTS ini juga dilakukan di Denpasar, Bali. Karena kecintaannya terhadap penelitian, Utarini terus mendorong terwujudnya iklim penelitian yang baik walau harus dengan susah payah. Itu dia wujudkan salah satu­nya saat menjadi wakil dekan Fakultas Kedokteran UGM pada 2012–2016. ”Ketika itu saya menjumpai kesulitan praktis,” terangnya. Terkait penulisan jurnal di jurnal internasional. Ada do­sen yang produktif. Namun, ada pula yang bahkan satu kali pun tidak pernah menu­lis jurnal. ”Saya tanya itu ke­napa. Jawabannya, kalau menulis naskah jurnal dengan membayar article processing fee, itu berat,” jelasnya. Article processing fee meru­pakan biaya pengolahan ar­tikel, bisa juga disebut biaya publikasi yang dibayarkan ke jurnal tersebut. Biaya itu bia­sanya dibebankan kepada penulis agar karyanya bisa diakses secara terbuka. ”Itu dilakukan agar karyanya di­baca banyak orang. Biayanya bisa sampai Rp 30 juta lho. Yang semacam ini butuh sup­port,” tuturnya. Masalah lain yang ditemukan, Utarini menyebut bahwa ada peneliti yang tulisannya be­gitu bagus. Namun, ternyata peneliti itu belum bisa me­nulis dalam bahasa Inggris. Akhirnya didatangkanlah editor dari penutur asli. Beragam masalah lainnya juga muncul. Misalnya, dosen yang baru selesai studi S-3 di Jepang mengeluhkan saat pipet atau alat pengetes cai­ran kimia yang harus dibeli sendiri. Padahal, di Negeri Matahari Terbit, alat tersedia lengkap dan gratis. Ia mengakui, memang saat ini dana penelitian belum tersedia banyak. Namun, dana itu sudah mulai dise­diakan. (jp/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X