Senin, 22 Desember 2025

Di Balik Buku Foto Tutur Mata Karya Anak-Anak Difabel, Semua Punya Kesempatan yang Sama

- Jumat, 24 Desember 2021 | 10:20 WIB

Lima anak penyandang disabilitas meluncurkan sebuah buku. Berisi kumpulan foto yang mereka bidik dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Karya pertama itu pun menuai sambutan hangat sekaligus apresiasi dari berbagai kalangan. RAUT muka bahagia tampak pada Omay yang mengidap down syndrome. Empat ka­wannya yang bisu tuli, yakni Pina, Kiking, Mukidi, dan Jacky, memancarkan aura yang sama saat menghadiri pelun­curan buku foto Tutur Mata pada Sabtu (18/12) di Cafe Taman, Surabaya Suites Hotel. Lima anak itu seolah tak bisa menyembunyikan pera­saan haru sekaligus gembira yang membuncah di dada. ”Mereka makin percaya diri karena punya karya,” ujar Leo Arif Budiman, founder Disa­bilitas Berkarya. Lelaki yang juga dikenal dengan nama Leo Gemati tersebut merupakan sosok di balik terbitnya buku Tutur Mata. Sejak medio 2016, Leo aktif mengajar fotografi seba­gai kegiatan selingan untuk anak-anak difabel yang ting­gal di Pondok Sosial Kalijudan. Sebagai mentor, ia rutin mengajak anak-anak di sana untuk hunting foto setiap se­pekan. Tempatnya bermacam-macam. Mulai hanya di seki­tar Kalijudan, lalu merambah ke Pasar Pabean, Pasar Ke­putran, makam Belanda Kembang Kuning, makam Peneleh, hingga rumah Bung Karno. ”Saya memang seka­lian mengenalkan mereka ke tempat-tempat cagar budaya di Surabaya,” jelasnya. Pada awal-awal latihan saat hunting foto itu, anak-anak hanya menggunakan kamera ponsel. Lambat laun mereka belajar memotret lewat ka­mera poket, LSR, maupun mirrorless. Mereka diajarkan tentang lighting, speed, kon­tras, dan beragam setting kamera lainnya. Tentu banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi se­lama proses belajar tersebut. Leo mengungkapkan bahwa tantangan yang ada adalah kendala bahasa. ”Karena kami sama-sama tidak mengerti bahasa isyarat. Jadi, selama ini kami meng­gunakan bahasa kedekatan. Artinya, tahu sama tahu ka­rena terbiasa bersama. Pakai kode-kode tertentu, gestur, bahasa visual,” ungkapnya. Leo kerap menunjukkan hasil jepretan fotografer ter­kenal kepada anak-anak. Lantas, mereka praktik bareng dengan meniru. Lama-ke­lamaan mereka sudah lebih mandiri karena lebih paham mengenai teknik fotografi. Lima tahun belajar fotografi, karya anak-anak yang terkum­pul pun semakin banyak. Terlebih, Leo menangkap potensi besar dari lima anak. Lima anak itu dipilih agar karya mereka dibukukan ka­rena memang paling poten­sial ketimbang lainnya. Total, ada 47 foto dari lima anak tersebut yang terkumpul pada 2016–2021. ”Kalau hanya diunggah di media sosial, akan berlalu begitu saja. Tapi, kalau dibu­kukan, bisa didiskusikan, dibedah. Banyak apresiasi yang datang. Dari seratus ek­semplar, sudah terjual sekitar 70 buku,” terangnya. Bagi Leo, karya mereka ada­lah potret perjuangan manusia yang tak pernah menyerah pada stigma dan mendobrak batas kemustahilan. Tentu ada banyak kisah di balik setiap foto yang tercetak di buku. Sa­lah satunya adalah foto bidikan Pina yang diletakkan di halaman depan buku. Dia memotret Omay dan Kiking yang tertawa lepas saat loncat di atas sapu. (feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X