METROPOLITAN - Kisah miris yang dialami siswa kelas 10 Madrasah Aliyah (MA) Mathlaul Anwar Desa Sukasari, Kecamatan Rumpin, Deni Mulyadi (14), terus menjadi sebuah perbincangan hangat. Deni yang tinggal di rumah tidak layak bersama ibu dan neneknya tersebut memang hidup dalam kondisi penuh kesulitan. Namun, ibu Deni yang berstatus janda tua itu tetap berusaha menyekolahkan anaknya mulai dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Semua tingkatan pendidikan Deni dilakukan di Mathla’ul Anwar, Kampung Barengkok, Desa Sukasari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Kondisi ekonomi keluarga Deni yang memprihatinkan, termasuk kondisi rumahnya yang tidak layak huni dan berada di tanah milik perusahaan properti terkenal, diungkapkan pula oleh salah seorang guru di sekolah Mathla’ul Anwar bernama Asep Badrudin. Menurut mantan Wakil Kepala Sekolah MA Mathla’ul Anwar Bidang Kesiswaan itu, kondisi Deni dan keluarganya selalu menjadi perhatian pihak sekolah, baik secara kelembagaan maupun individu melalui dewan guru. Asep menjelaskan bentuk perhatian dan bantuan dari Lembaga Pendidikan Yayasan Mathla’ul Anwar di antaranya telah membebaskan biaya sekolah serta membantu kebutuhan Deni lainnya seperti seragam, bahkan hingga diberikan uang saku. ”Dewan Guru juga banyak yang membantu secara pribadi sesuai kemampuannya masing-masing. Bahkan ada juga yang memberikan sepeda untuk transportasi Deni bersekolah,” kata Asep. Ia menuturkan, namun bantuan dari pihak sekolah dan yayasan yang diberikan kepada Deni tidak akan mencukupi kebutuhannya secara keseluruhan. Pasalnya, sambung Asep, perhatian mereka bukan hanya untuk Deni, tetapi juga untuk puluhan siswa/i lainnya yang kondisi kehidupan ekonominya hampir sama seperti Deni. ”Terkait metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau belajar daring pada masa pandemi Covid-19 yang harus dilakukan setiap lembaga pendidikan atau sekolah sebagai sebuah kebijakan dan arahan pemerintah,” beber Asep. Asep mengungkapkan bahwa pihak Yayasan Mathla’ul Anwar telah menyesuaikan penerapan metode sistem pembelajaran tersebut dengan kemampuan siswa, dengan mempertimbangkan segala faktor seperti ekonomi, daya serap maupun psikologis siswa. ”Tak jarang siswa minder bahkan malu dengan temannya akibat penerapan belajar yang belum pernah mereka lakukan melalui handphone. Hal itu dapat dimaklumi karena mereka sebelumnya tidak pernah belajar menggunakan alat canggih tersebut,” ujarnya. Namun dalam kondisi seperti itu, lanjut Asep, pihak sekolah juga telah melakukan strategi pembelajaran khusus yang berbeda-beda. Seperti guru mendatangi langsung ke rumah siswa, membentuk kelompok belajar yang hanya beberapa orang yang rumahnya berdekatan, atau dipersilakan siswa bertemu gurunya langsung di sekolah untuk diberikan bimbingan di kelas. ”Siswa dan siswi dapat memilih cara yang paling sesuai dengan kondisi mereka masing-masing,” pungkas Asep. (mul/c/els/run)