METROPOLITAN – Sejak aturan baru dari Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) diterapkan, pengelola Rumah Sakit (RS) di Kota Hujan menjerit karena terancam kolaps. BPJS dianggap masuk ranah medis dalam menerapkan pembiayaan terhadap pasien yang berobat ke RS dengan membatasi pelayanan.
Wali Kota Bogor, Bima Arya, mengaku hingga kini belum mempelajari secara utuh persoalan yang menimpa RS di Kota Hujan, pasca pemberlakuan aturan pembatasan tiga pelayanan itu.
“Belum tahu, masih kami pelajari, termasuk soal pemangkasan pelayanan, itu di bidang persalinan dan lainnya yang mengakibatkan RS diperkirakan harus nombok,” kata Bima kepada Metropolitan, kemarin.
Suami Yane Ardian ini menambahkan, dari laporan yang ia terima, sejak berlakunya, sistem rujukan berjenjang dari BPJS, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor memang mengalami pengurangan pendapatan.
Ada beberapa opsi yang tengah ditempuh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk mengantisipasi penurunan tersebut. Di antaranya dengan wacana menjadikan RSUD sebagai rumah sakit rujukan tingkat regional. Artinya, rujukan bagi RS-RS se-Provinsi Jawa Barat. Ia menuturkan, saat ini opsi tersebut dirasa bisa menjadi sebagai adaptasi dari aturan baru BPJS. “Ada beberapa langkah yang dibahas. Sebagai antisipasi, salah satunya menjadikan (RSUD) sebagai rujukan regional, artinya menjadi RS rujukan se-Jawa Barat. Sudah kami koordinasi dengan berbagai stakeholder dalam konteks terdampak dari aturan rujukan berjenjang itu,” katanya.Saat ini, Jawa Barat hanya memiliki dua RS rujukan tingkat provinsi, yakni RS Hasan Sadikin, Kota Bandung, dan RS Al-Ihsan, di Kabupaten Bandung. Bima berharap, fasilitas di RSUD bisa menjadikan RS di bilangan Jalan Semeru itu sebagai rujukan regional. Namun untuk aturan lain seperti pembatasan terhadap pelayanan persalinan bayi lahir sehat, yang dikeluhkan berbagai RS Bersalin di Kota Bogor, terlebih RS Swasta, dia mengaku belum tahu secara jelas dan belum ada laporan yang masuk. “Baru akan mempelajari keluhan dari RS yang terdampak akibat aturan BPJS itu,” ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, lebih dari seminggu menerapkan aturan baru Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), pengelola Rumah Sakit (RS) di Kota Bogor menjerit. Tiga aturan baru itu dianggap bisa mengancam operasional RS.
swasta di Kota Bogor yang namanya enggan disebutkan menilai saat ini semua RS, terutama swasta, mengeluh soal aturan ini. Sebab, BPJS dianggap masuk ranah medis. “Kemenkes juga nggak digubris BPJS soal penundaan aturan. Alhasil kini sudah berlaku dan sudah diterapkan. Apalagi RS kami yang bergantung dari persalinan saja, kita bisa kolaps,” katanya.
Dia mencontohkan, kini jika ada seorang ibu yang melahirkan bayi sehat, klaim BPJS-nya hanya satu poin, padahal sebelumnya ada dua poin yang dicover. Hal itu merugikan RS. Saat ini pihaknya menerapkan aturan baru kepada pasien, yakni pemberitahuan soal aturan BPJS ini. Kalau pasien bersedia membayar sisanya, maka baru bisa dilayani. Padahal, BPJS dengan tegas melarang RS menolak pasien.
“Biasanya untuk kasus itu, kita dapat Rp7 jutaan, sekarang dapat Rp4,9 jutaan, hilang 50 persen. Itu yang bikin kita sering ribut sama pasien. Yang muncul kan kata pasien, masa kita sudah bayar BPJS, masih saja bayar. Nah RS lah yang kena getahnya,” ketusnya.
Segala cara sudah dilakukan, mulai dari surat yang dilayangkan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) maupun imbauan dari Kementerian Kesehatan soal penundaan aturan itu, nampak dihiraukan BPJS. “Karena yang bisa mencabut aturan itu ya presiden. Semua asosiasi RS dan dokter sudah layangkan surat, tapi tidak digubris. Kami yang tercekik,” paparnya.
Terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Medik RSUD, dr Andi Tatat, mengatakan, adanya aturan BPJS itu berdampak pada pelayanan pasien di RSUD Kota Bogor. Yang paling terasa yakni aturan rujukan berjenjang dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertaman (FKTP), seperti puskesmas atau klinik, harus ke RS tipe D, lalu ke C, ke B, baru ke A. “Karena RSUD itu tipe B, jadi cuma menerima rujukan dari RS tipe C. Dapat dilihat dari menurunnya angka kunjungan pasien rawat jalan di poli RSUD Kota Bogor hampir 50 persen,” katanya.
Aturan rujukan berjenjang itu, sambung dia, tidak sesuai Permenkes Nomor 001 Tahun 2012, di mana di PMK tersebut rujukan berjenjang diatur dari fasilitas kesehatan primer ke sekunder dan ke tertier. “Tidak menjelaskan harus ke D, C, B, A. Dalam Permenkes 56 Tahun 2014, klasifikasi RS tipe B minimal mempunyai dokter subspesialis dua orang, jadi RSUD belum bisa kalau disebut rumah sakit rujukan tertier,” katanya.
Dampak dari kebijakan ini, kata Andi, membuat masyarakat umum merasa dipersulit, yang sebelumnya berobat ke RSUD, menjadi tidak bisa ke RSUD langsung, karena harus berjenjang ke tipe C dahulu. Di mana ketersediaan peralatan dan obat di bawah RSUD. Kedua, RS tipe B yang dokter sub spesialisnya cuma 2, angka kunjungan poliklinik nya menurun tajam. RSUD yang merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) penuh, yakni 95 persen karyawan adalah non PNS, yang sudah mandiri dan tidak mendapatkan subsidi APBD.
“Dampak dari regulasi ini berdampak ke cash flow rumah sakit. RS tipe B posisinya kejepit. Tidak diakui sebagai faskes sekunder, tapi tersier juga belum. Untuk Kota Bogor yang tidak punya RSUD tipe C, kebijakan ini tentu akan berpengaruh terhadap penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” paparnya.