metro-pendidikan

Komisi X DPR Ragukan Program Mendikbud

Kamis, 30 Januari 2020 | 10:23 WIB
RAKER: Mendikbud, Nadiem Makarim, saat menjelaskan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka di hadapan anggota Komisi X DPR RI, belum lama ini.

METROPOLITAN - Komisi X DPR menyoroti konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka digagas Mendikbud Nadiem Makarim. DPR mempertanyakan naskah akademik program Merdeka Belajar digagas Nadiem dalam rapat kerja yang berlangsung kemarin.

"Ketika tadi disampaikan Merdeka Belajar, numpang tanya ada enggak naskah akademiknya? Karena ini namanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentu harus punya naskah akademik," kata Anggota Komisi X DPR fraksi Golkar Ferdiansyah saat mengadakan raker antar Komisi X dengan Kemendikbud, kemarin.

Menurut dia, konsep Merdeka Belajar secara prinsipil bukanlah hal yang baru. Konsep itu esensinya sudah pernah diinisiasi tokoh pendidikan Indonesia, Profesor Conny R Semiawan. Konsep yang dimaksud adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif pada dekade 1970-an.

"Sekali lagi pendidikan Indonesia punya sejarah panjang. Kalau gak salah sejak tahun 47 sampai sekarang kita sudah gonta-ganti kurikulum delapan atau sembilan kali," kata dia.

Nadiem mengaku pihaknya masih melakukan pembuatan cetak biru mengenai konsep Merdeka Belajar utamanya terkait Asesmen Kompetensi Dasar.

"Kajian research-nya tuh ada," kata mendikbud.

Menurut dia, kajian itu akan diselesaikan selama enam bulan terhitung setelah ia mengumumkan konsep Merdeka Belajar pada Desember 2019 lalu.

"Kita masih on track dalam menyelesaikan blueprint," jelas dia.

Selain konsep Merdeka Belajar, mantan bos Gojek itu juga diminta DPR menjelaskan mengenai implementasi program Kampus Merdeka. Sebab, Komisi Bidang Pendidikan DPR pesimis dengan masa jabatan Mendikbud Nadiem sosialisasi program tersebut dapat menyeluruh ke pelosok Indonesia.

"Masa jabatan Pak Nadiem 49 bulan lagi. Numpang tanya lagi, target berapa lama Bapak melakukan sosialisasi kebijakan tersebut. Ini Indonesia," tanya Ferdiansyah.

DPR meragukan sosialisasi program itu dapat berjalan baik setelah berkaca saat memperkenalkan undang-undang hingga tingkat desa yang membutuhkan waktu mencapai delapan tahun.

"Dengan berbagai cara, even itu sudah ada teknologi bukan 4 lagi, kalau perlu 6.0. Tetap saja punya disparitas, penafsiran berbeda-beda di masyarakat. Belum lagi di kepala daerah," terangnya.(mdk/els/py)

Tags

Terkini