METROPOLITAN.ID - Deni Sukandar melalui kuasa hukumnya ADM Lawyers resmi mengajukan gugatan praperadilan terhadap tujuh pimpinan lembaga negara.
Gugatan ini dilayangkan karena dianggap mengabaikan penanganan laporan dugaan tindak pidana korupsi terkait hilangnya tiga sertifikat tanah hak miliknya.
Amiruddin Rahman dari ADM Lawyers, menjelaskan pihaknya menggugat praperadilan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Pihak dan lembaga lain yang terseret adalah Jaksa Agung Republik Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Kepala Kanwil BPN Jawa Barat, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi, serta Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat.
Permohonan praperadilan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Cibadak pada 24 November 2025 dengan nomor perkara 4/Pid.Pra/2025/PN.Cbd.
Sidang perdana berlangsung 5 Desember 2025, namun seluruh pihak termohon tak hadir. Sidang lanjutan dijadwalkan pada 9 Januari 2026.
Menurut Amiruddin, persoalan bermula ketika kliennya memperoleh fasilitas kredit dari PT Awan Tunai Indonesia pada Agustus 2022.
Meski hanya diminta menjaminkan uang 20 persen dari nilai pinjaman, Deni kemudian menyerahkan tiga SHM pada 26 Januari 2024 atas dasar kepercayaan.
Pada 20 Mei 2025, Deni menandatangani tiga akta di hadapan notaris Hasnah bersama seseorang bernama Patria Raditia Affandi yang mengaku sebagai kuasa Direktur PT Awan Tunai Indonesia.
Akta tersebut meliputi akta penyerahan jaminan sukarela, akta kuasa menjual, dan akta kuasa membebankan hak tanggungan.
Merasa tidak mendapatkan penjelasan transparan soal nilai jual tanahnya, Deni mengajukan pemblokiran ketiga SHM pada 3 Juni 2025.
Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi dan Kanwil BPN Jawa Barat disebutkan memberikan kepastian bahwa balik nama tidak mungkin dilakukan karena sertifikat sudah terblokir.
Sebagai langkah perlindungan tambahan, Deni juga membuat Akta Pembatalan Kuasa Menjual pada 9 Oktober 2025.
Namun belakangan, ia justru mendapat kabar bahwa ketiga sertifikat tersebut telah beralih hak tanpa pemberitahuan siapa pembelinya. Padahal pemblokiran dilakukan secara resmi dan sertifikat tidak sedang dalam sengketa.
Amiruddin menilai proses peralihan sertifikat dalam kondisi terblokir merupakan kejanggalan serius. Ia menduga penghapusan atau pengabaian catatan blokir dilakukan tanpa persetujuan pemilik.
Lebih jauh, data pribadi kliennya, termasuk nomor EFIN, diduga diakses tanpa izin untuk memperlancar balik nama.
“Dokumen pendukung yang kami minta dari lembaga terkait tidak diberikan, padahal kami sudah bersurat lebih dari satu kali,” ujar Amiruddin.
Ia juga menyoroti penggunaan akta kuasa menjual atau surat kuasa mutlak yang telah dibatalkan.
Penggunaan model kuasa seperti ini dilarang oleh peraturan, termasuk PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Akibat peralihan tiga SHM tersebut, kliennya mengalami kerugian setara nilai penjualan tertinggi Rp 64,3 miliar jika dihitung dari luas total 24.520 meter persegi.
Amiruddin mengajak masyarakat yang mengalami kasus serupa agar tidak ragu meminta pendampingan hukum.
ADM Lawyers, ujarnya, siap membantu agar korban mafia tanah mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. “Kami ingin memastikan tidak ada warga yang dirugikan oleh praktik mafia tanah,” tegasnya. (um)