METROPOLITAN - Dari 101 pilkada yang digelar 15 Februari 2017, hanya tujuh yang hasil penghitungan suaranya berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, secara syarat administrasi, kemenangan paslon di tujuh daerah itu memiliki selisih tipis, yakni kurang dari dua persen. Syarat selisih gugatan tersebut diatur melalui Peraturan MK Nomor 4/2015 tentang Pedoman dalam Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.
Tujuh daerah penyelenggara pilkada dengan selisih kemenangan suara sangat tipis itu adalah Kota Salatiga (1,4 persen); Kota Jogjakarta (0,6 persen); Kabupaten Takalar (1,16 persen); Kabupaten Bombana (1,56 persen); Kabupaten Gayo Lues (1,44 persen); Provinsi Sulbar (0,75 persen); dan Provinsi Banten (0,14 persen).
Juru bicara MK Fajar Laksono menyatakan bahwa pihaknya saat ini siap menerima permohonan gugatan. “Berapa pun perkara yang masuk, kami siap. Setelah KPU umumkan, sejak saat itu pula juga kami standby 3x24 jam,’’ ujarnya kepada Jawa Pos (grup Metropolitan).
Dia menjelaskan, secara kepaniteraan MK menerima semua aduan yang masuk. Terlepas aduan itu memenuhi syarat ataupun tidak. Namun, bisa atau tidaknya aduan tersebut berlanjut dalam sidang merupakan kewenangan hakim.
Sementara itu, pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti memperkirakan jumlah sengketa yang masuk tidak sebanyak pada 2015. Sebab, gugurnya mayoritas gugatan akibat tidak terpenuhinya syarat selisih suara bisa jadi membuat penggugat kapok. “Dengan melihat itu, tampaknya tidak bakal ada lonjakan sengketa ke MK,’’ katanya saat dihubungi.
Ray menyayangkan sikap tersebut. Menurut dia, menggugurkan aduan hanya karena syarat selisih tidak terpenuhi bukanlah hal yang bijak. Sebab, dapat dipastikan ada potensi pelanggaran yang diabaikan hanya lantaran syarat administrasi tidak terpenuhi. “Paslon pun akan berlomba memenangi pilkada dengan selisih lebih dari dua persen melalui cara apapun. Toh, tidak diproses di MK ini,’’ paparnya.
Padahal, lanjut Ray, potensi adanya kecurangan dalam Pilkada 2017 sangat terbuka. Merujuk pada hasil pengawasan Bawaslu saja, setidaknya ditemukan lebih dari 600 laporan dugaan money politic. Karena itu, sidang di MK semestinya bisa menjadi medium untuk mengoreksi proses tersebut. Namun, jika MK tetap bersikukuh dengan syarat selisih, dia menilai potensi adanya kecurangan yang masif guna memenangi pilkada dengan selisih lebih dari dua persen sangat mungkin terjadi. “Ini ancaman untuk demokrasi kita ke depannya,’’ tandasnya.
(jpnn/ram/dit)