METROPOLITAN - Pengamat Politik yang juga Direktur Democracy Electoral and Empowerment Partnership (DEEP), Yusfitriadi menilai ada lima potensi kerawanan yang akan terjadi di Pemilu 2019. Potensi kerawanan ini pun dianggap belum diantisipasi oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu. Lelaki yang akrab disapa Kang Yus ini menjelaskan, potensi kerawanan pertama ada pada syarat pemilih dan daftar pemilih. Dalam Undang-undang pemilu, hanya warga yang memiliki KTP-elektronik yang biosa menyalurkan hak pilihnya. Padahal, di regulasi sebelumnya seperti di Pilkada, warga masih bisa menggunakan surat keterangan (suket) sebagai pengganti KTP-el. “Jadi tidak ada alternatif lain. Sekarang faktanya masih ada sekitar lima juta pemilih yang masih bermasalah. Pertama yang data ganda, kedua yang belum rekam dan sudah rekam tapi belum punya ktp-el dan ketiga pemilih yang pada 17 April berusia 17 tahun. Ini belum jelas teknis perekamannya. Saya rasa permasalahan ini sangat serius. Tapi semua pihak sekan-akan tutup mata, Kemendagri pun tidak ada jaminan,” kata Kang Yus kepada Metropolitan. Potensi masalah kedua ada pada pungut hitung. Di Pemilu 2019, pemilih akan memegang lima surat suara. Kondisi ini diprediksi akan membingungkan masyarakat. Dari sisi penghitungan, dalam aturan disebutkan harus selesai hari itu juga atau maksimal pukul 24:00. Sementara di Bogor belum ada simulasi penghitungan. Simulasi yang dilakukan di Banten beberapa waktu lalu, hingga pukul 24:00 masih ada satu kotak suara yang belum terhitung. “Simulasi harusnya dilakukan di tiga daerah, pertama di daerah yang amat sulit berbagai hal, kedua di tengah dan ketiga di kota. Harusnya di dorong simualasi di tiga tempat ini untuk melihat langsung potensi kerawanan. Di tambah lagi ada informasi pilpres dulu yang di hitung. Kalau demikian, beres pilpres akan kosong TPS, masyarakat sudah tidak antusias. Terlebih kondisi malam, siapa yang akan ngawal kotak suara. Sementara kotak suara dari kardus, rentan dimainkan,” ungkapnya. Selanjutnya, parliamentary threshold (PT) atau ambang batas parlemen juga dianggap berpotensi menimbulkan masalah. PT empat persen yang terbilang tinggi akan memaksa partai untuk mencapai target dan cenderung menghalalkan segala cara. “Potensi keempat adalah adanyam pengawas TPS dan satu saksi setiap parpol dibiayai negara. Kalau di Kabupaten Bogor ada 14 ribu lebih TPS, dikali juumlah parpol 16. Belumlagi berebut dengan anggota penyelenggara pemilu dan penyediaan anggaran yang besar,” beber Kang Yus. Terakhir, partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2019 masih terbilang rawan. Masyarakat cenderung masih cuek sehingga perlu harus didorong. Menurut Kang Yus, dari kerawanan kerawanan tersebut, akan muncul empat potensi isu. Pertama adalah isu daftar pemilih, kedua isu dana kampanye dan korupsi pemilu, ketiga politik identitas dan keempat penyebaran berita hoaks dan kampanye hitam. “Sejauh ini belum ada antisipasi pemerintah dan penyelenggara pemilu. Semua pihak terkait harus bergerak cepat, jangan sampai ketika sudah dekat baru ketar ketir. Jangan sampai masyarakjat yang jadi korban,” tegasnya. (fin/c/els)