Dengan adanya ikatan pernikahan itu aku merasa bertanggungjawab penuh atas Rara. Hilman tahu kami menikah siri dan seyogyanya bisa saja dia melaporkan pernikahan kami itu ke sekolah Rara. Tetapi dia ternyata berjiwa besar. Dia tidak melakukan hal-hal yang bisa merugikan Rara, bahkan dia datang menemui kami untuk memberi ucapan selamat kepada kami.
Saya merasa memang Hilman masih belum bisa melupakan Rara. Dia kerap mengunjungi kami dan kerap pula mengingatkan Rara bahwa dia beruntung menikah denganku. Awalnya aku risi juga, tetapi lama-kelamaan aku bisa menerima kehadirannya. Baru setelah aku harus merantau untuk bekerja, Hilman tidak lagi datang ke rumah.
Kadang aku iba terhadap lelaki itu, tetapi kerap aku cemburu kepadanya. Suatu ketika aku menelpon Hilman. Dengan antusias dia melayani obrolanku. Dia pun menjawab polos ketika aku menanyakan kemesraan masa lalunya dengan Rara. Menurutnya dia sudah berkali-kali selama 3 tahun itu melakukan hubungan intim dengan Rara.
Menurutnya Rara selalu ‘semangat’ di tempat tidur dan juga gampang jatuh cinta. Itu yang membuat Hilman sering cek-cok dengan Rara, karena dia sering cemburu dengan keluwesan Rara bergaul. Dari cerita itu aku berkesimpulan bahwa Hilman lebih jujur dalam pengakuannya, sedang Rara mengaku hanya pernah dua kali tidur dengannya, yang terakhir sekitar dua tahun lalu.
Tiga bulan kami berkumpul, lalu 9 hingga 10 bulan kami harus berpisah demi mencari nafkah. Demikian ritme kehidupan kami. Hampir empat tahun menikah, kami pun dikaruniai seorang anak. Inilah babak baru yang harus kami syukuri. Tetapi ada hal lain yang juga mengisi hati dan pikiran kami.
Sumber:ceritacurhat.com