METROPOLITAN - Delapan tahun sudah aku hidup berumah tangga dengan suami ku. Masa pacaran kami pun bisa dibilang tidak singkat yaitu 8 tahun. Seharusnya dengan lama nya kami bersama sampai menikah dan mempunyai seorang putra yang berumur 6 tahun kami sudah saling memahami dan menyanyangi. Namun yang kurasa kan dari dulu adalah rasa tekanan dari pasangan yang besar. Tuntutan jika aku harus lebih sering mengalah entah sejak kapan mulai tertanam erat sekali dalam kehidupan asmara ku.wanita itu justru makhluk yang lebih sentimental, sangat ingin di manja, senang di sayang dan diperhatikan. Kehidupan rumah tangga yang ku bayangkan indah sirna sekejap seperti embun pagi yang terkena sinar matahari lenyap tak berbekas.Pernah juga hati ini berontak me minta lepas dari kungkungan kewajiban seorang istri, seorang ibu, seorang menantu yang mana harus mandiri dalam financial, mandiri dalam mengasuh dan menenangkan si kecil yang rewel. Kala malam menjemput harus bangun menyusui atau membuat susu disaat diri ini sedang asik bernostalgia dalam mimpi, harus bisa tahan emosi jiwa disaat mendengar kata-kata mertua yang kadang kala pedasnya melewati si abon cabe level 10. Hati ini semakin membeku menginginkan kehangatan yang tidak kunjung ku dapat dari suami. Dia lebih senang mengobrol dengan handphone nya ketimbang diriku. Aku sadar saat dia pulang kerja mungkin lelah. Tapi anehnya lelahnya itu hanya dengan aku dan anak ku saja tidak dengan gadgetnya.(de/feb)