Setahun berlalu rasa kangen sama keluarga rasanya tak tertahankan. Awal tahun 2004 kami pulang ke kota masing-masing. Lama dirumah, jauh dari kekasih rasanya kesepian. Aku coba menghubungi Faizal serta tanya soal kerjaan, dia jawab ada, datang aja kesini. Rasa bangga serta bahagia dengar kabar dari dia. Spontan kabar ini langsung aku ceritakan pada ortuku. Tapi jawab ortuku, tidak boleh ke tempat dia dan gak boleh menyayangi dia.
Alasannya takut Faizal kayak bapaknya banyak istri. Tapi tekadku sudah bulat, diam-diam aku minggat ke Jakarta. Singkat cerita aku sudah nyampe Jakarta dan dijemput Faizal, aku dikenalkan ke orang terdekatnya, sejak itu aku kenal keluarganya, dan sejak itu pula aku tinggal bersama mereka. Suka dan duka kami lalui bersama. Dan dari situ pula aku tahu kalau Faizal seorang pecandu ganja dan juga preman, tapi walau demikian aku tetap sayang padanya.
Tak terasa setahun berlalu dan hal yang tidak dikira terjadi. Desember 2004 aku hamil, Januari 2005 aku pulang berdua sama Faizal, dan tepatnya 20 januari 2005 aku resmi jadi istri Faizal. Bahagia rasanya pada waktu itu. Tapi apa yang orang tua katakan terbukti benar ketika usia kehamilanku masuk 7 bulan. Faizal sering pergi dan selingkuh dengan wanita lain.
Teganya Faizal saat aku hamil tua dia malah enak-enakan di rumah kekasih barunya, menghabiskan duit yang harusnya aku pakai untuk biaya persalinan. Aku teringat pesan orang tuaku dulu, aku malu mengakui bahwa mereka benar, apalagi melaporkan kelakukan Faizal ke mereka.
Kelakuan Faizal tidak berubah setelah anak kami lahir. Dia semakin jarang pulang dan kalaupun di rumah dia lebih sering marah-marah itupun marahnya karena masalah di luar rumah yang dia bawa pulang dan aku yang menjadi pelampiasan amarahnya.
Orang tuaku di desa sudah tahu kelakukan Faizal dan berapa kali mereka mengajakku kembali pulang, tapi aku menolak karena menganggap Faizal adalah pilihanku sendiri, aku tidak mau menyusahkan orang tuaku.
Sampai akhirnya ketika anakku berumur 6 bulan mereka menjemputku karena sudah tidak tahan melihat penderitaanku. Sekarang anakku sudah kelas 1 SD, dan selama itu Faizal hanya sekali membesukku, tidak ada biaya yang dia kirimkan ke aku dan anaknya, tapi kata cerai pun tidak ada jadi secara hukum sampai sekarang aku masih istri sahnya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, setiap hari yang kulakukan hanya menunggu kalau-kalau Faizal datang meminta maaf dan menjemputku. Tapi itu seperti menunggu hujan di musim kemarau, tidak mungkin terjadi. Malah yang kudapat adalah berita pernikahan Faizal dengan wanita lain. Ah sungguh malang hidupku, ini mungkin buah dari dosaku sendiri yang tidak mendengar perkataan orang tua. (cer)