Karena dua faktor itu membuat aku nyaman berteman dengannya dan mulai bisa melupakan Habieb (walaupun tidak pernah benar-benar lupa), selain chating kami juga makin sering SMS-an dan bertelepon sampai 2 tahun lamanya. Mungkin karena sama-sama kesepian, kami merasa saling cocok walaupun gilanya sampai saat itu kami tidak tahu wajah kami masing-masing.
Setelah dua tahun untuk pertama kalinya kami bertemu di Jakarta dan setelah itu kami pun lebih sering ketemu dan lebih serius. Selama 5 tahun kami berhubungan jarak jauh, setiap 3 bulan sekali kami bertemu dan kami makin tahu sifat satu sama lainnya. Akhirnya pada pertengahan 2010 kami memutuskan menikah. Setelah menikah aku meninggalkan pekerjaanku di salah satu bank dan mengikuti jejak suamiku tinggal di Pulau Sumatra.
Sejak saat itulah aku mulai menjadi robot suamiku, bagaimana tidak 3 hari setelah kami menikah dia langsung menceritakan tugas-tugasku di kantornya nanti. Boro-boro kami memikirkan bulan madu sekadar merasakan indahnya malam pertama sebagai pengantin baru saja rasanya tidak, semua berlalu datar saja.
Awalnya aku tidak mempermasalahkan hal itu karena memang sebelum menikah pun aku tahu bahwa sebagai seorang profesional, suamiku harus mengawasi ketat kantornya dan dia bekerja seperti tak kenal waktu, kondisi itu tak membuat aku heran karena aku memang tau dia tipe laki-laki yang perfeksionis dan ambisius.
Terlebih tuntutan keluarganya pun terlampau banyak yang memaksa dia harus kerja ekstra untuk memupuk harta. Maka setelah aku menjadi istrinya, dia pun seperti memiliki energi baru untuk lebih ekstra cari duit. Siang malam kami bekerja tanpa kenal waktu, walaupun sebenarnya lebih banyak aku bekerja daripada dia, hampir setiap malam kami tidur diatas jam 12 malam tepatnya jam 1 atau jam 2, bahkan sering aku tertidur jam 3 pagi dan harus terbangun saat salat subuh. (Bersambung)