Keikhlasan Ayah Memperbaiki Becak (5) SEKITAR jam satu malam, aku merasa tidak enak dengan tidurku. Aku setengah terbangun. Lalu aku mendengar ibuku memanggil-manggil ayahku dalam kamarnya. Cukup lama aku mendengarnya, mungkin sekitar 15 menitan. Dan saat itu juga ibuku menghampiriku lalu membangunkanku dan bilang : “san.. Bapakmu gak ono ..” (ayahmu gak ada) Aku yang sudah sadar sejak tadi langsung bangun. Melihat raut muka ibuku yang kebingungan dan berusaha mencerna. Aku langsung mendatangi ayahku yang terbaring di kamar. Sekilas, aku juga tidak tau harus berbuat apa. Aku tidak pernah melihat kematian, aku takut. Melihat wajah ayahku dengan mata terbuka dan mulut menganga. Aku peganng kakinya, dingin, dingin sekali. Aku taruh tanganku di dadanya, mencoba merasakan denyutan jantungnya. Tapi tak ada detakan sedikitpun, ayahku telah meninggal. Dalam benakku, aku kebingungan, apa yang harus aku lakukan, dia sudah tidak ada. Apa aku harus senang? mungkin dengan begitu sudah tidak ada omelan lagi di pagi hari jika dia tidak ada. Aku harus bangga, dengan begitu tidak ada lagi tetangga yang akan terganngu di setiap malam. Toh juga ada tidak adanya dia, aku tak pernah bicara. Tapi dia ayahku, ayahku satu-satunya. Saat itu juga aku meneteskan air mata. Ibuku juga mulai menggeru-geru, kakak ipar perempuanku juga terbangun dan menangis dengan sangatnya, saat mengetahui ayah tidak ada. Aku tidak punya hp, aku tidak bisa menghubungi keluarga yang lain untuk memberitahukan kejadian ini. Ada kakakku yang tinggal beda rumah di tengah desa, butuh waktu untuk pergi kesana. Aku pun pergi ke rumah kakak perempuanku, dan mengabarkan kematian ayahku. Bersambung