Menampung Curhat, Memulung Kisah & Merangkai Cerita(2) BEDAN sebaliknya, yang dianggap serius sama cowok, ternyata malah kadang tak dipikirkan atau tak jadi masalah buat kaum hawa. Sejak jadi mahasiswa, reputasi sebagai ’pendengar curhat yang baik’ di kalangan teman-teman cewek saya terus meningkat. Entah kenapa. Gara-gara itu, saya sering diajak jalan atau sekadar bertemu untuk diajak curhat. Waktu itu sih, namanya juga mahasiswa, kurang kerjaan, diajak kayak gitu ya asyik-asyik aja. Apalagi segala urusan jalan dan ngobrol itu (makan, minum, ongkos, tiket, dan sebagainya) bukan jadi urusan saya. Tinggal ikut, makan-minum, dan dengarkan, plus komentar dikit-dikit, bila perlu ngasih saran kalau diminta. Celakanya, banyak juga cewek-cewek yang saya ’incar’ ikutan curhat. Buntutnya sering ’ilfeel’ kalau ternyata dia cerita tentang cowok yang disukainya, apalagi kalau cerita soal masalah berat yang dihadapinya. Bayangkan saja kalau saya ’jadi’ sama dia, sudah punya masalah bawaan, harus pula ditambah dengan masalahnya dia! Ya sudah, kalau kata lagunya Kahitna, seringkali jadinya ’Batal Suka’ alias mundur teratur dan jadi pendengar curhatannya saja. Belakangan, saya mulai mengetahui kenapa saya sering dijadikan teman curhat itu, terutama bagi kalangan cewek. Katanya, selain saya dianggap --catat, mereka yang menganggap ya, bukan saya yang merasa---sebagai pendengar yang baik dan sering memberi saran yang bermanfaat, meski tak langsung menyelesaikan masalah. Selain itu, katanya, saya dianggap ’dipercaya’ sebagai pelabuhan curhat. Layaknya bank di Swiss, saya bisa menyimpan semua titipan nasabah tanpa rewel. Bersambung