Perempuan seperti Salma Khaled, yang tinggal di kamp pengungsi Deir el-Balah di Gaza tengah, menghadapi kesulitan luar biasa.
Baca Juga: Tebing Longsor di Jalan Raya Tajur Bogor Diperbaiki Bulan Ini
Serangan Israel telah membuatnya merasa ketakutan dan depresi, yang juga memengaruhi siklus menstruasinya.
Selain masalah menstruasi, banyak rumah di Gaza saat ini mengalami krisis air, sehingga menjaga kebersihan menjadi suatu tantangan.
Penggunaan kamar mandi harus dijadwalkan, dan kesempatan mandi terbatas hanya beberapa kali dalam beberapa hari.
Baca Juga: Mahmoud Abbas, Presiden Palestina yang Memiliki Latar Belakang Sebagai Pengusaha Sukses
Produk menstruasi seperti pembalut pun mulai langka di toko dan apotek karena kerusakan jalan-jalan utama akibat serangan Israel.
Di tengah kekurangan ini, tablet penunda menstruasi lebih tersedia di beberapa apotek karena kurang populer.
Namun, perempuan Gaza berharap bahwa situasi perang segera berakhir sehingga mereka tidak perlu terus mengonsumsi pil penunda menstruasi dengan semua risiko yang melekat padanya.
Baca Juga: Apriyadi Malik, Caleg Partai Golkar yang Gencar Turun ke Masyarakat di Kabupaten BogorBaca
Keadaan ini menjadi lebih rumit bagi perempuan muda yang baru mengalami menstruasi dan harus menghadapinya dalam situasi pengungsian dan ketidakpastian akibat perang.
Perang Israel di Gaza telah berlangsung selama 25 hari dan menyebabkan lebih dari 8.500 warga Palestina tewas, termasuk banyak perempuan dan anak-anak.
Kondisi ini semakin memberi tekanan pada perempuan yang harus menghadapi gejala menstruasi sambil mengalami stres dan ketidakpastian yang diakibatkan oleh perang.
Juga: Apriyadi Malik, Caleg Partai Golkar yang Gencar Turun ke Masyarakat di Kabupaten Bogor
Para ahli juga mengingatkan pentingnya berkonsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi pil penunda menstruasi, terutama dalam situasi normal, untuk memahami efek dan dampaknya pada kesehatan fisik perempuan.***