Perlahan, dunia konservasi mengantArkannya bertemu dengan berbagai peneliti, termasuk Chris Thorogood, ilustrator botani dari Oxford University. Kerja sama keduanya bermula dari komunikasi sederhana di DM Instagram pada masa pandemi tahun 2019.
Ketika Deki mendengar kabar bahwa Rafflesia hasseltii sedang mekar di Sijunjung, ia langsung mengatur ekspedisi bersama Chris, Iswandi dari LPHN Sumpur Kudus, dan Joko Witono dari BRIN.
Baca Juga: Rujak Soto, Perpaduan Kuliner Aneh tapi Enak yang Hanya Ada di Banyuwangi
"Akhirnya kita coba cari klarifikasi, kita coba ekspedisi. Berangkat dari Bengkulu selama 20 jam dengan jalan kaki lebih dari 3 jam. Ini total perjalanan 23 jam," ujarnya.
Risiko terbesar adalah ancaman harimau Sumatera yang kerap melintas di jalur yang sama. Terlebih lagi, musim durian yang sedang berlangsung memperbesar kemungkinan bertemu kucing besar tersebut.
Beruntung, tidak ada satwa besar yang muncul selama perjalanan. Tapi rasa tegang dan ancaman nyata tidak bisa dihapuskan dari benak seluruh anggota tim.
Tidak Menyentuh Rafflesia
Deki menegaskan bahwa dokumentasi bunga Rafflesia harus dilakukan dengan etika yang ketat.
Ia menolak memegang atau menyentuh bunga dalam keadaan apa pun.
"Saya selalu memposting foto saya itu tidak pernah menyentuh langsung si Rafflesia," ujarnya.
Menurutnya, sentuhan manusia justru dapat mempercepat kerusakan atau pembusukan pada bunga yang memang sangat rentan ini.
Sikapnya ini mendapat pujian dari kalangan pemerhati lingkungan, karena banyak kerusakan habitat Rafflesia justru terjadi akibat aktivitas pengunjung yang tidak memahami karakter bunga tersebut.