METROPOLITAN - “Berhati-hatilah kalau bicara.”
Apakah kalimat itu semakin sering anda temui belakangan ini?
Ya, sekarang ini menulis status di media sosial bisa membawa anda ke penjara atau yang lebih parah lagi dihakimi massa. Sebab, pendapat anda tersebut bisa saja ditafsirkan menghina, mengejek, atau merendahkan kelompok tertentu.
Seorang dokter di Sumatera Barat, Fiera Lovita, sampai harus meminta perlindungan polisi dan berniat meninggalkan Kota Solok. Ia mengaku keselamatannya terancam, setelah mengunggah status menyikapi kasus Rizieq Shihab.
Jika di Barat ada ‘political correctness’, di Indonesia ada ‘berhati-hatilah kalau bicara’.
Kalimat ‘berhati-hatilah kalau bicara’ sekilas tampak sebagai nasihat yang baik. Jika itu bermaksud agar kita mengambil waktu sejenak sebelum mengkonstruksi kata dan kalimat, tentu baik untuk diikuti.
Tapi apa yang terjadi sekarang?
Kalimat ‘berhati-hatilah kalau bicara’ cenderung menjadi kalimat pengganti ‘lebih baik tidak usah bicara’. Lebih tepatnya: ‘lebih baik tidak usah bicara, jika pendapatmu tidak sesuai dengan cara berpikir orang banyak’.
Apakah ini pembajakan terhadap kebebasan berpendapat?
Bisa jadi.
Kita memang selalu diajarkan untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang halus, santun, dan sebisa mungkin tidak menyinggung orang lain. Kalau kata guru kita, “Itulah orang berpendidikan.”
Tapi tunggu dulu, orang berpendidikan juga bisa menyinggung perasaan. Dan, orang yang tidak berpendidikan juga bisa menyampaikan pendapatnya. Itu artinya, tidak ada penyeragaman dalam menyampaikan pendapat, misalnya harus halus supaya terkesan berpendidikan.
Memangnya tidak boleh mengutarakan pendapat dengan cara yang sarkas, bahkan emosional sekalipun?
Kenyataannya, menyampaikan pendapat di muka umum termasuk di media sosial – entah itu dengan cara yang santun, satire, sarkas, komikal, atau emosional – dilindungi undang-undang karena bagian dari HAM. Asalkan itu tidak fitnah.