Selepas SMA aku melanjutkan studi ke Australia lalu ke Amerika mengikuti kakak-kakakku. Tak banyak yang perlu aku ceritakan dengan masa studiku. Hampir lima tahun kemudian aku kembali dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi untuk membesarkan bisnis keluarga aku. DALAM waktu singkat perusahaan memperoleh profit meningkat pesat, terus membesar serta merambah ke banyak sektor bisnis. Aku banyak memiliki akses ke para petinggi di daerahku karena semasa sekolahku dulu aku sudah mengenal keluarga mereka. Semua urusan perizinan bisa aku selesaikan dengan mudah. Aku masih tetap melajang di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria berusaha menarik perhatianku, dari pengusaha muda sukses bahkan sampai pemilik perusahaan besar. Tapi hatiku tidak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan seseorang yang benar-benar menjadi belahan jiwaku. Sekadar mencari suami amat mudah bagiku, ibarat hanya menjentikkan jari maka puluhan pria akan mendatangi aku. Tapi aku mencari belahan jiwa sejati untuk mendampingi aku. Sampai suatu ketika perusahaan kami memperoleh karyawan baru dari kantor cabang kami di Pulau Jawa. Orangnya tiga tahun lebih tua dari ku, wajahnya bersih, dia berasal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut, sopan, tubuhnya tinggi dan proporsional. Ah, ini dia... Dia seorang muslim yang saleh. Sejak kedatangannya di kantor kami, para wanita nggak habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan dia. Menurut laporan kantor, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor lama hingga dipromosikan ke pekerjaan lebih tinggi dan menantang di kantor kami. Kebetulan pekerjaan yang akan dia kerjakan menjadi satu divisi denganku. Aku akan banyak berhubungan dengan dia. Pada bulan pertama aku bersikap jaim karena aku anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama-lama, hatiku nggak bisa berbohong. Hatiku sedikit demi sedikit tapi pasti, luluh juga. Aku jatuh cinta. Pernah suatu saat sehabis mengunjungi kantor gubernur aku semobil dengannya. Di tengah jalan dia minta izin untuk berhenti sebentar di Masjid Raya di kotaku untuk salat Ashar. Dari dalam mobil, aku perhatikan gimana dia berwudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan melakukan ibadah. Andaikan saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya. Awalnya aku memanggil dia dengan sebutan formal di kantor yaitu ‘Pak’ dan dia juga memanggilku ‘Ibu’. Tapi lama kelamaan secara tidak sengaja aku mulai memanggil dia ‘mas’, karena aku sering melihat keluarga Jawa memanggil orang lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh setiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa. Tapi itu hanya aku lakukan apabila hanya sedang berdua, tidak di depan orang-orang kantor. Seperti yang diceritakan Mawar pada https://menyentuhhati.com