Senin, 22 Desember 2025

Hidup Merana tapi Aku Pertahankan Agama Pilihanku (4)

- Sabtu, 10 Juni 2017 | 09:58 WIB

Selepas SMA aku melanjutkan studi ke Australia lalu ke Amerika mengikuti kakak-kakakku. Tak banyak yang perlu aku ceritakan dengan masa studiku. Hampir lima tahun kemudian aku kembali dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi untuk membesarkan bisnis keluarga aku. DALAM waktu singkat perusahaan mem­peroleh profit meningkat pesat, terus mem­besar serta merambah ke banyak sektor bisnis. Aku banyak memiliki akses ke para petinggi di daerahku karena semasa seko­lahku dulu aku sudah mengenal keluarga mereka. Semua urusan perizinan bisa aku selesaikan dengan mudah. Aku masih tetap melajang di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria berusaha mena­rik perhatianku, dari pengusaha muda sukses bahkan sampai pemilik perusahaan besar. Tapi hatiku tidak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan seseorang yang benar-benar menjadi belahan jiwaku. Sekadar men­cari suami amat mudah bagiku, ibarat hanya menjentikkan jari maka puluhan pria akan mendatangi aku. Tapi aku mencari belahan jiwa sejati untuk mendampingi aku. Sampai suatu ketika perusahaan kami mem­peroleh karyawan baru dari kantor cabang kami di Pulau Jawa. Orangnya tiga tahun lebih tua dari ku, wajahnya bersih, dia bera­sal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut, sopan, tubuhnya tinggi dan proporsional. Ah, ini dia... Dia seorang mus­lim yang saleh. Sejak kedatangannya di kan­tor kami, para wanita nggak habisnya mem­bicarakan dan berlomba mendapatkan dia. Menurut laporan kantor, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor lama hing­ga dipromosikan ke pekerjaan lebih ting­gi dan menantang di kantor kami. Kebe­tulan pekerjaan yang akan dia kerjakan menjadi satu divisi denganku. Aku akan banyak berhubungan dengan dia. Pada bulan pertama aku bersikap jaim karena aku anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama-lama, hatiku nggak bisa berbohong. Hatiku sedikit demi sedikit tapi pasti, luluh juga. Aku jatuh cinta. Pernah suatu saat sehabis mengunjungi kan­tor gubernur aku semobil dengannya. Di tengah jalan dia minta izin untuk berhenti sebentar di Masjid Raya di kotaku untuk salat Ashar. Dari dalam mobil, aku perhatikan gimana dia ber­wudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan melakukan ibadah. Andaikan saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya. Awalnya aku memanggil dia dengan sebutan formal di kantor yaitu ‘Pak’ dan dia juga memang­gilku ‘Ibu’. Tapi lama kelamaan secara tidak sengaja aku mulai memanggil dia ‘mas’, karena aku sering melihat keluarga Jawa memanggil orang lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh setiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa. Tapi itu hanya aku lakukan apabila hanya sedang berdua, tidak di depan orang-orang kantor. Seperti yang diceritakan Mawar pada https://menyentuhhati.com

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X