RAMADAN hadir sebagai bulan yang paling istimewa di antara sebelas bulan lainnya. Keistimewaan tersebut terlihat dari dorongan untuk memperbanyak ibadah dibulan suci ini dan janji pelipatgandaan pahala bagi orang-orang yang tekun beribadah kepada Allah. Sebuah bulan yang hari demi harinya, jam demi jamnya, dan menit demi menitnya, detik demi detiknya sangat berharga. Bagaimana tidak bernilai, bila tidur orang puasa saja dimasukkan sebagai perbuatan ibadah, diamnya setara dengan membaca tasbih, dan amal kebaikan sejajar dengan amal berlipat-lipat di luar Ramadan. Atas dasar keutamaan ini, tidak heran bila banyak orang berbondong-bondong menunaikan ibadah Ramadan sebanyak-banyaknya. Mereka tidak hanya menahan makan dan minum, tapi juga menjalankan rutinitas di luar amalan fardhu. Mereka mulai memenuhi masjid, gemar bertadarus Alquran, dzikir, salat tarawih, memberi hidangan berbuka puasa, dan amalan-amalan sunnah lainnya. Tentu sangat menggembirakan menyaksikan gairah baru yang positif seiring dengan tibanya bulan penuh berkah ini. Masyarakat menjadi tampak semakin religius. Meskipun, kita tahu semangat yang sama tidak dialami oleh semua orang. Tetapi, setidaknya kita melihat gejala perkembangan yang lebih baik setidaknya selama satu bulan. Ramadan mendorong banyak orang untuk mengubah diri, istirahat sejenak dari kesibukan duniawi yang melelahkan, dan meninggalkan hal-hal buruk. Semoga seluruh amalan tersebut terlaksana atas dasar keimanan yang kokoh sehingga dapat membersihkan kotoran-kotoran masa lalu, sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih) Peningkatan intensitas dan frekuensi ibadah adalah hal yang baik. Hanya saja kita perlu seksama agar segenap upaya yang kita curahkan untuk beribadah tidak menguap sia-sia. Menguap sia-sia? Ya, ibadah tidak otomatis pasti bernilai ibadah. Ibadah juga mengandung jebakan-jebakan yang bila seorang hamba tidak hati-hati akan terperosok ke dalamnya. Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitab al-Kasyfu wat Tabyin menyebutnya sebagai al-maghrurin (para ibadah ibadah yang tertipu). Menurut Imam al-Ghazali, ketertipuan tersebut karena seorang ahli ibadah keliru dalam menempatkan skala prioritas. Tipuan (ghurur) itu terjadi antara lain ketika seseorang hanyut dalam kesibukan ibadah-ibadah sunnah dan mengabaikan hal-hal yang wajib. Beliau antara lain menyebut: “Mereka (ahli ibadah yang tertipu) mengabaikan hal-hal fardhu dan menyibukkan diri pada hal-hal sunnah. Kadang mereka tenggelam dalam kesibukkan itu hingga sampai pada perilaku berlebih-lebihan dan permusuhan.” Orang bisa saja sangat bersemangat menjalankan ibadah salat tahajud dini hari sampai subuh. Tapi jika karena perbuatannya itu ia meninggalkan salat subuh maka ia sesungguhnya sedang tertipu. Atau seseorang bisa saja aktif membangunkan sahur orang lain, tapi bila cara-cara yang digunakan mengganggu orang lain, seperti dengan membunyikan petasan, orang tersebut sesungguhnya juga tertipu. Sebab, ibadah mengajak orang sahur tidak boleh menelantarkan kewajiban kita untuk tidak mengusik ketenteraman orang lain. Contoh lain di sekitar tentang hamba yang terperdaya ini adalah ketika seseorang sibuk soal salat tarawih, memperdebatkan jumlah rakaatnya yang paling afdhal, menghujat pihak yang tidak sepaham, lalu menimbulkan pertengkaran antarkompok tidak sepaham. Padahal, melaksakan salat tarawih adalah sunnah, sementara menjaga kerukunan dan persatuan adalah wajib. Tarawih adalah perbuatan baik. Namun akan sayang sekali bila perbuatan baik tersebut lantas mengorbankan prebuatan lain yang lebih baik. (diambil dari NU online)