METROPOLITAN - Rupiah makin tak bertenaga. Kenaikan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) ke level 4,50% ternyata belum mampu menyehatkan rupiah. Alih-alih perkasa, mata uang NKRI malah terus melemah. Rupiah kini terperangkap di level US$ 14.178 per dolar AS, kian jauh dari asumsi makro APBN 2018 sebesar Rp 13.400.
Keputusan BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada 17 Mei lalu boleh jadi belum memuaskan pasar. Pasar menghendaki BI 7-DRRR langsung naik setidaknya 50 bps. Kenaikan suku bunga acuan setinggi itu dibutuhkan untuk mengimbangi imbal hasil (yield) US Treasury Bond tenor 10 tahun yang sudah mencapai 3% dan rencana kenaikan fed funds rate (FFR) 2-3 kali lagi tahun ini.
Dengan imbal hasil 3% lebih, obligasi pemerintah AS jelas lebih atraktif dibanding instrumen portofolio di emerging markets, termasuk Indonesia. Jika The Fed menaikkan suku bunga acuan dari saat ini 1,5-1,75% menjadi 2,5-2,75% sampai akhir tahun, yield US Treasury Bond bakal naik. Itu artinya, selisih yiled US Treasury dengan Surat Utang Negara (SUN) seri benchmark 10 tahun semakin tipis.
Selisih imbal hasil sebesar 3-4% tak cukup untuk memaksa para pengelola hedge fund global bertahan atau mengalihkan dananya ke Indonesia. Lagi pula, rupiah sudah melemah sekitar 4,7% sejak awal tahun. Selain itu, country risk negeri ini masih tinggi. Dan, bukankah Credit Default Swap (CDS) Indonesia masih yang tertinggi di Asean?
Dengan ekspektasi ekonomi AS segera pulih, wajar jika terjadi pembalikan modal (sudden reversal) dari emerging markets ke AS. Apalagi tensi ancaman perang dagang AS-RRT sudah menurun. Itulah yang terjadi saat ini. Di pasar saham domestik, investor asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) Rp 42,17 triliun selama tahun berjalan (year to date/ytd). Di pasar surat berharga negara (SBN), kepemilikan asing sudah negatif Rp 8,9 triliun per 16 Mei lalu.
Pertanyaan besarnya, apakah rupiah bakal serta-merta perkasa jika BI kembali menaikkan BI 7-DRRR? Sampai level berapa suku bunga acuan mampu menguatkan rupiah dan mencegah arus modal keluar (capital outflow)? Apakah kenaikan BI 7-DRRR --misalnya hingga level 6-7%-- bakal menjamin modal asing tetap bertahan di Indonesia?
Sejujurnya, kenaikan BI 7-DRRR hingga level berapa pun tak menjamin penguatan rupiah jika tak diikuti langkah-langkah lainnya. Kenaikan suku bunga acuan BI juga tak bisa menggaransi dana-dana asing bertahan di Indonesia. Bila tidak didukung kebijakan-kebijakan lain di bidang moneter, fiskal, dan makroprudensial, rupiah bakal terus seperti layanglayang putus.
Salah besar jika penyebab pelemahan rupiah dewasa ini sepenuhnya ditimpakan kepada faktor global, seperti rencana kenaikan FFR, ancaman perang dagang, kenaikan yield US Treasury Bond, dan kenaikan harga minyak. Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa faktor domestik turut menyebabkan rupiah terpuruk.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap masih rapuhnya sejumlah sendi perekonomian nasional, salah satunya neraca transaksi berjalan (current account), yang masih digerogoti defisit. BI memperkirakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tahun ini bakal mencapai US$ 23 miliar atau 2,3% terhadap produk domestic bruto (PDB), naik dari tahun lalu 1,7%. Ancaman CAD benar adanya.
Pada kuartal I-2018, CAD mencapai US$ 5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dari periode sama tahun silam US$ 2,16 miliar karena impor melonjak melebihi ekspor. Tren peningkatan CAD terkonfirmasi oleh data neraca perdagangan April 2018 yang mengalami defisit US$ 1,63 miliar, yang US$ 1,13 miliar di antaranya berasal dari defisit neraca migas.
Dengan status Indonesia sebagai pengimpor sejati minyak (net oil importer), defisit neraca minyak nasional kemungkinan bakal terus membesar. Soalnya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri terus meningkat di tengah tren kenaikan harga minyak dunia dan rendahnya realisasi produksi (lifting) minyak nasional.
Kita sepakat bahwa perekonomian nasional memang menghadapi persoalan sistemik. Pelemahan rupiah bukan semata dipicu faktor psikologis, tapi juga faktor fundamental. Ada permintaan dolar AS yang tinggi saat ini untuk impor, terutama impor minyak. Apalagi sekarang merupakan musim repatriasi dividen perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Belum lagi jika dikaitkan kebutuhan dolar untuk pembayaran utang luar negeri.
Faktanya, depresiasi rupiah nyaris tak memberikan manfaat bagi perekonomian nasional. Setiap rupiah tertekan, pengusaha menjerit, masyarakat berteriak. Perekonomian nasional lintang pukang. Ini terjadi karena ekspor kita rendah dan masih mengandalkan sumber daya alam (SDA).
Juga akibat tingginya ketergantungan kita terhadap produk impor. Maka kita kembali menegaskan bahwa reformasi struktural, terutama di bidang industri manufaktur, adalah harga mati. Indonesia harus memperkuat industri manufaktur agar ekspor meningkat dan yang diekspor adalah produk jadi bernilai tambah tinggi.