METROPOLITAN - DPR betul-betul bersemangat menuntaskan seleksi calon pimpinan (capim) KPK. Rencananya fit and proper test alias uji kelayakan dan kepatutan dilaksanakan pekan ini. Dalam seminggu, diharapkan seluruh proses bisa selesai.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menjelaskan, masih ada waktu untuk menerima masukan publik. Harapannya, pro-kontra yang selama ini muncul menjadi masukan sebelum DPR menjalankan fit and proper test kepada sepuluh capim KPK.
“Kita akan membuka ruang sebelum fit and proper test,” jelas Arteria. Dia menegaskan, penentuan nama sepuluh capim di luar kewenangan DPR. Sepuluh nama tersebut dihasilkan panitia seleksi (pansel). DPR pun harus menguji mereka meski ada penolakan dari berbagai pihak. “Apakah sepuluh nama itu kita setuju? Ya, kita tetap hormati pansel,” lanjutnya. Hanya presiden yang punya hak prerogatif membatasi sepuluh nama atau mengambil nama baru calon-calon lain yang mendaftar.
Masinton Pasaribu, anggota komisi III, mengatakan bahwa hari ini komisinya menggelar rapat untuk menentukan jadwal fit and proper test. Selanjutnya, Selasa (10/9) pihaknya memanggil pansel capim KPK untuk mendalami profil para calon. Setelah itu, baru dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Menurut politikus PDIP tersebut, setiap capim akan diminta menulis makalah. Kemudian, mereka harus menjelaskan isi makalahnya. “Kami akan dalami ketika mereka menyampaikan makalah,” ucap dia.
Masinton memperkirakan proses fit and proper test dilaksanakan pada 10-11 September. Dalam sehari ada lima capim yang diuji, mulai pagi hingga malam. “Jadi, dua hari bisa selesai semua,” terang dia. Jika semua beres, komisi III akan mengumumkan hasilnya. Jadi, dalam waktu seminggu semua proses bisa tuntas diketahui siapa yang terpilih sebagai komisioner KPK.
Sementara itu, selain mengebut proses seleksi capim KPK, DPR sangat bersemangat merevisi UU KPK. Masinton mengatakan, DPR sudah mengirimkan surat ke Presiden Jokowi. Surat itu berisi draf RUU KPK. Presiden bisa mempelajari draf itu dan memberikan balasan berupa surat presiden (surpres) untuk membahas revisi UU. “Kami harap secepatnya surpres dikirim ke DPR,” ucapnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mempertanyakan pembatasan setahun penanganan kasus. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hal tersebut malah kontradiktif dengan UU KUHP. Yakni, penghentian kasus hanya bisa dilakukan dalam tiga syarat.
Barang bukti tidak cukup, bukan tindak pidana, dan kasus kedaluwarsa atau tersangka meninggal dunia. KPK pun tidak diberi kewenangan memberikan SP3 agar lembaga antirasuah tersebut bertanggung jawab dalam pengumpulan barang bukti hingga tuntas.
Di tempat terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebut revisi UU KPK tidak bisa dilanjutkan. ”Secara formil, pembentukannya cacat prosedur,” terang dia seusai diskusi di bilangan Jakarta Pusat kemarin. Revisi tersebut tidak memenuhi prosedur yang ditentukan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Aturan yang cacat prosedur akan dianggap batal demi hukum. Dia akan batal dengan sendirinya. ”Tidak dibutuhkan putusan pengadilan yang menyatakan sah atau tidak absahnya sebuah pembentukan peraturan perundangan kalau dia cacat prosedur,” lanjutnya.
Ada dua cacat formil dalam revisi UU KPK. Pertama, RUU tersebut tidak masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Tiba-tiba saja naik di tengah jalan. Menurut aturan, undang-undang dibahas bersama antara DPR dan presiden berdasar daftar prolegnas. Pembahasan yang dilakukan pada 2016 tidak bisa menjadi pembenaran.
Kedua, ada putusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang menyatakan bahwa DPR wajib memenuhi prolegnas. Bila pembahasan dipaksakan juga, suatu saat akan ada yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan untuk uji materi, melainkan uji formil. Dengan konsekuensi tersebut, menurut dia, semestinya DPR menunda revisi UU KPK. ”Atau bahkan menghapuskan sama sekali dari memori mereka,” tutur Feri.