METROPOLITAN.id - Mantan Ketua KPK Abraham Samad menilai pembentukan dewan pengawas yang termuat dalam salah satu pasal di RUU KPK sangat tidak relevan. Terlebih, jika tujuannya hanya untuk mengawasi penyadapan dan mengawasi serta mengontrol tupoksi KPK secara kelembagaan, baik kepada pimpinan dan pegawainya. Menurutnya, KPK punya pengawasan internal yang berkaitan dengan kinerja, penyadapan dan sebagainya. Pengawasan internal ini memungkinkan pimpinan KPK diperiksa seperti yang pernah ia rasakan kala menjabat Ketua KPK beberapa. Bahkan, pemeriksaan terhadapd dirinya telah mencapai pembentukan majelis kode etik untuk pemeriksaan lebih lanjut. Majelis kode etik sendiri beranggota dari orang-orang independen. "Kalau revisi UU KPK dengan adanya poin membentuk dewan pengawas untuk internal, sangat tidak relevan. Karena mekanisme KPK suda ada, yang memungkinkan pimpinan KPK diperiksa," kata Abraham saat Obsesi Radar Bogor bertajuk KPK di Ujung Tanduk, di Graha Pena Kota Bogor, Kamis (12/9). Dengan mekanisme seperti itu, secara jelas dan gamblang KPK bukanlah lembaga yang tidak bisa disentuh atau kebal hukum. "Jadi kalau ada yang bilang KPK terlalu kuat dan tidak bisa disentuh adalah salah besar," tegasnya. Yang lebih parah, Abraham melanjutkan, dewan pengawas dalam RUU KPK disebut diangkat oleh DPR RI. RUU itu juga menyebut bahwa KPK harus berada di bawah kekuasaan eksekutif. "Padahal KPK telah meneken nota kesepakatan yang mensyaratkan setiap lembaga anti korupsi pada setiap negara, harus bersifat independen dan lepas dari eksekutif. Kalau disahkan, berarti kita melanggar," ungkap Abraham. Sebetulnya, ia bersepakat merevisi atau mengubah undang-undang bukanlah hal yang haram. Hanya saja, dalam RUU KPK, banyak pasal yang justru melemahkan KPK dalam fungsinya memberantas korupsi. "Yang kita permasalqhkan di sini substansinya. Kalau kita lihat ada 10 poin bentuk pelemahan dalan RUU KPK ini," tandasnya. (fin)