METROPOLITAN - Sepanjang 2019, jurnalis masih menjadi sasaran intimidasi kepolisian Indonesia. Alih-alih dilindungi, kerja-kerja peliputan wartawan dihalang-halangi, bahkan berbuah dugaan tindak kekerasan. Aksi aparat terhadap jurnalis ini ekskalasinya terlihat sejak demo #ReformasiDikorupsi 2019. Bentuk kekerasannya bermacam, mulai dari perampasan alat kerja hingga hak liput jurnalis. Pada 30 September, rekan reporter saya dari Tirto, Haris Prabowo, diseret oleh polisi ketika meliput setelah merekam adu mulut antara anggota marinir dan polisi di area RS Gigi dan Mulut Ladokgi TNI AL RE Martadinata. Seorang polisi berseragam sipil menanyakan Haris dari media apa, disusul pertanyaan menyudutkan, "Kamu ikut lempar-lempar enggak?" "Enggaklah, Pak, saya dari arah polisi dari tadi malah. Saya media (ngepos di) DPR." Polisi tetap tak percaya, lalu memeriksa tas Haris. Seorang polisi menyuruhnya membuka tas dan dua polisi yang lain memeganginya. "Coba cek. Tadi ada kejadian kaya gini mengaku wartawan tapi isi tasnya bom molotov," kata seorang polisi, yang menemukan kabel charger ponsel, roti, dan dompet. Tapi, di saku depan tas Haris, para polisi mendapati dua selongsong gas air mata, satu berwarna abu-abu, satu lagi merah, dan bertanya mengapa Haris menyimpan selongsong. Haris berkata selongsong itu demi keperluan reportase, tetapi polisi lantas menggelandangnya ke halaman DPR. Kepala Haris dipiting dan ia diseret berjalan cepat menuju gedung parlemen, berjarak 500 meter dari jembatan layang Bendungan Hilir. Lima hari sebelumnya, 25 September, Vany Fitria, wartawan Narasi TV, syok ketika ponselnya dirampas lalu dibanting polisi di Bendungan Hilir. Ponsel itu untuk merekam kerusuhan. Seorang polisi berseragam serba hitam mendatangi dan memperingatkannya untuk berhati-hati. Sekitar 7 sampai 8 polisi lain mendatangi Vany. Tanpa basa-basi, seorang polisi merampas telepon genggam miliknya, lalu membantingnya. Seorang polisi lain memungut ponsel yang sudah hancur itu lalu dikantongi. Meski Vany sudah menunjukkan kartu pers, polisi acuh tak acuh. Pada 24 September, empat jurnalis diintimidasi aparat keamanan Indonesia. Nibras Nada Nailufar dari Kompas.com diminta polisi menghapus foto dan video polisi yang diduga memukuli massa di area Jakarta Convention Center Senayan. Sementara Tri Kurnia dari Katadata dan Vanny El Rahman dari IDN Times diduga dianiaya polisi ketika meliput di kawasan Slipi dan Palmerah, Jakarta Barat. Pelaku lain, yakni massa di kawasan Senayan, merusak mobil peliputan Febrian Ahmad dari Metro TV. Para jurnalis melaporkan dugaan tindak penganiayaan ke Polda Metro Jaya. Hasilnya, Polda menerima laporan Nibras Nada Nailufar dan Tri Kurnia. Sementara laporan Haris Prabowo dan Vany Fitria hanya diterima oleh Propam Mabes Polri dan tak ada proses selanjutnya sampai sekarang.