METROPOLITAN.id - Sejumlah aktivis lintas generasi yang tergabung dalam Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) menggelar diskusi terkait 100 hari kerja Presiden dan Wakil Presiden Jokowi - Ma'ruf Amin. Diskusi digelar di kantor Democracy and Eelectotral Empowerment Partnership (DEEP) dengab mengangkat tema 'Nasib Pemberantasan Korupsi, Penghormatan HAM dan Penguatan Demokrasi', Minggu (3/2). Sejumlah aktivis yang ikut mengisi diskusi di antaranya Ray Rangkuti dari LIMA Indonesia, Yusfitriadi dari DEEP, Alwan Ola Riantoby dari Kornas JPPR, Arif Susanto dari Exposit Strategic, Badi'ul Hadi dari Seknas Fitra, Kaka Suminta dari KIPP Indonesia, aktivis demomrasi Ajeng Kusumaningrum, Jeirry Sumampow dari TePI Indonesia, Lucius Karus dari Formappi dan FaridabLaela dari Alinea. Direktur DEEP Yusfitriadi mengatakan, tepat 28 Januari 2020, pemerintahan Jokowi- Maruf telah memasuki 100 hari kerja. Seperti diketahui bersama, masa jabatan Presiden saat ini merupakan periode yang kedua, artinya Presiden sudah menjalani lima tahun kepemimpinan sebelumnya. "Pada masa 100 hari kerja Jokowi- Ma'ruf Amin terdapat banyak hal yang yang sudah dijalani dan penting untuk dikritisi," kata lelaki yang akrab disapa Yus. Menurutnya, beberapa peristiwa di dalamnya tak dapat dipandang sebagai peristiwa biasa. Bahkan bisa disebut sebagai peristiwa yang sangat menentukan masa depan bangsa. "Sebut saja soal pemberlakuan UU KPK hasil revisi, Kasus Jiwasraya dan masuknya RUU Omnibus Law dalam Prolegnas, pada lain hal isu amandemen GBHN, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR, serta sistem Pilkada kembali tertutup," terangnya. Sementara itu, Direktur LIMA, Ray Rangkutu mengatakan, selain kasus tersebut, banyak peristiwa yang memiliki makna untuk dikritisi apakah masa depan pemerintahan Jokowi- Ma'ruf menunjukan trend positif atau sebaliknya. "Khususnya terkait dengan pemberantasan korupsi, penegakan HAM dan juga penguatan demokrasi," ungkapnya. Dalam proses diskusi, GIAD memberikan beberapa catatan penting. Mulai dari kebijakan pemerintah untuk melakukan perampingan birokrasi, kenaikan tarif BJPS, Omnibus Law, skandal Jiwasraya, Asabri dan pengelolaan APBN serta keinginan pemindahan ibu kota yang terburu-buru. Sebagai bentuk evaluasi atas kondisi tersebut, GIAD memberikan tujuh catatan penting. Pertama, antara 20 Oktober 2019 hingga 28 Januari 2020, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf telah berusia 100 hari dan selama masa pendek tersebut demokrasi Indonesia telah mengalami kemunduran signifikan. Ironisnya, institusi negara dengan pemerintahan di dalamnya adalah kontributor utama kemunduran tersebut; demokrasi telah dikorupsi. Kedua, pada pengujung periode terdahulu, pemerintahan Jokowi bersekongkol dengan DPR untuk memperlemah KPK, terutama melalui revisi UU KPK dan pemilihan komisioner yang kontroversial. Bersama beberapa rancangan lain, legislasi bersama DPR dan pemerintah menghasilkan ancaman bagi pemberantasan korupsi dan kebebasan sipil. Ketiga, sementara korupsi politik dan inefisiensi berkelanjutan, pelemahan KPK telah memberi pukulan telak pemberantasan korupsi. Perubahan yang konon dimaksudkan untuk mempermudah investasi pun tidak terbukti. Beberapa indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi dan investasi, nilai tukar rupiah, serta neraca perdagangan menunjukkan kecenderungan stagnasi, jika bukan malah menurun. Keempat, kebebasan sipil berada dalam ancaman serius terdampak sejumlah penangkapan dan intimidasi yang dialami para aktivis. Protes massa dihadapai dengan kekerasan, kritik dihadapi dengan ancaman pemidanaan, dan gerakan mahasiswa dirundung dengan penggembosan. Inilah salah satu titik nadir kebebasan sipil dua dekade terakhir. Kelima, intoleransi berlanjut; alih-alih memiliki itikad politik untuk mengatasinya, sejumlah kekuatan politik justru mengeksploitasinya dan negara tampak abai karena mereka malah menikmatinya. Polarisasi antar-umat tersebab bukan hanya oleh minimnya kesepahaman silang dan buruknya keadilan sosial, tetapi juga agitasi politik yang memanfaatkan sentimen keagamaan untuk pemenangan kontestasi elektoral. Keenam, pengabaian hak asasi berlangsung terang benderang. Pemerintah tidak saja gagal memberi penghormatan dan perlindungan memadai terhadap HAM, mereka bahkan menjadi salah satu aktor pelanggar HAM lewat ancaman kebebasan sipil. Pelanggaran HAM masa lalu semakin jauh dari penyelesaian, bahkan terdapat kecenderungan untuk mengingkarinya secara ironis lewat tindakan-tindakan hukum. Ketujuh, dengan situasi tersebut, kita membutuhkan suatu perubahan besar dalam pemerintahan. Kekuasaan yang terlalu besar dan memusat di sektor-sektor politik dan ekonomi melahirkan oligarkisme, yang kian sulit untuk ditaklukkan. Selain revolusi mental dalam ruang-ruang kekuasaan, penguatan civil society menjadi kemendesakan bersama revitalisasi peran media massa. Sementara partai-partai politik menjadi bagian pembusukan demokrasi, perlu kekuatan penyeimbang yang dapat memberi energi perubahan menuju konsolidasi demokrasi. (*/fin)