Minggu, 21 Desember 2025

Bogor (Sudah) Layak Anak?

- Kamis, 5 Maret 2020 | 13:57 WIB

METROPOLITAN.id - Predikat kota atau kabupaten layak anak menjadi dambaan setiap wilayah, tak terkecuali Kabupaten Bogor. Namun pertanyaannya, apakah pemangku kepentingan di Kabupaten Bogor sudah menjalankan upaya-upaya serius untuk mewujudkan keinginan besar tersebut? Kondisi itu yang kemudian coba diungkap lewat diskusi yang digelar oleh lembaga Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PKG-P3A) di kantor Yayasan Visi Nusantara Maju, Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu (4/3). Mengangkat tema 'Bogor (Sudah) Layak Anak?', diskusi ini menghadirkan sejumlah nara sumber. Ada Kepala Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Bogor Shinta Damayanti dan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bogor, Ipda Silvi Adiputri. Lalu ada Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju Yusfitriadi, Direktur PKG-P3A Imam Sunandar, perwakilan media Ira Nihrawati, Aktivis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Heni Rustiani dan Kabid Dakwah & Kajian Keagamaan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat Asep Saepudin. Selain mereka, dua orang anggota DPRD Kabupaten Bogor Ridwan Muhibi dan Ruhiyat Sujana ikut menjadi nara sumber dalam diskusi terkait perempuan dan anak tersebut. Kepala Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak pada DP3AP2KB Shinta Damayanti mengatakan, ada lima predikat kabupaten/kota layak anak. Yakni Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan Kabupaten/Kota Layak Anak. Sejauh ini, belum ada kabupaten/kota di Indonesia yang berhasil meraih predikat Kabupaten/Kota Layak Anak. Kabupaten Bogor sendiri pernah meraih predikat Nindya namun turun ke Madya. "Menanggulangi persoalan anak dan perempuan memang sulit. Kabupaten Bogor juga belum punya Peraturan Daerah (Perda) Layak Anak. Padahal itu juga jadi salah satu upaya untuk mewujudkan kabupaten layak anak," kata Shinta. Sepanjang 2019, DP3AP2KB melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menangani 123 kasus menyangkut anak dan perempuan. Di antaranya soal kekerasan, pelecehan hingga pencabulan. Jumlah tersebut tergolong tinggi. Namun, Shinta mengaku telah melakukan sosialisasi dan upaya-upaya pencegahan lainnya. "Kalau pelaporan, makin banyak belum tentu kasusnya semakin meningkat. Mungkin sekarang orang sudah semakin mengerti kemana melapor, karena sebelumnya ada juga yang takut melapor, ada juga yang tidak tau ke mana melapor. Yang penting bagaimana menanganinya," ungkapnya. Untuk penanganan kasus anak dan perempuan, biasanya membutuhkan psikolog. Sayangnya, di Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, P2TP2A hanya ada satu psikolog dalam seminggu, yakni pada hari Selasa. Padahal, peran psikolog sangatlah penting dalam penyelesaian kasus anak. "Untuk datang ke kantornya memang cuma sekali seminggu. Tapi mereka siap kok dipanggil kalau kasusnya mendesak. Biasanya bisa. Memang kekurangan. Karena kalau pakai dari luar biasanya itu berbayar, masalahnya pelapor mau ngga membayar," ujar Shinta. Di tempat yang sama, Kanit PPA Polres Bogor Ipda Silvi Adiputri mengaku ada 74 kasus anak dan perempuan sepanjang 2019. Jumlah tersebut berbeda dari yang ditangani P2TP2A lantaran Polres Bogor tidak memasukan kasus di wilayah Bojonggede karena masuk wilayah hukum Polres Depok. Biasanya, masalah anak dan perempuan dilatarbelakangi faktor ekonomi, keluarga hingga pendidikan. Untuk itu, peran aktif semua elemen sangat dibutuhkan jika ingin menekan angka kasus yang menyangkut anak dan perempuan. "Susah memang, kalau kami di kepolisian bagian fungsi represif, di mana sudah ada tindak pelanggaran kami bertindak. Kalau fungsi preventifnya kami serahkan ke instansi terkait," kata Silvi. Terkait laporan kasus anak yang harus ke Polres Bogor dan tidak bisa dilakukan di Polsek, Silvi mengaku sebetulnya tidak ada kebijakan baku soal hal tersebut. Sebab ketika di Polres, yang menangani kasus pun bukan hanya polwan. "Tergantung kebijakan pimpinan masing-masing. Terkadang yang jauh juga kita limpahlan ke polsek untuk percepatan. Kalau memang buktinya ada, ada tindak pelanggarannya, silakan lapor. Kami tidak pernah menolak laporan. Tinggal nanti kita lihat apa yang dilaporkan, kalau memenuhi unsur kita buat laporannya dan kita tindaklanjuti," terangnya. Berkaca pada laporan-laporan yang pernah masuk, ada kendala yang memang dihadapi. Banyak laporan yang tidak ada saksi, padahal untuk lanjut ke tahap penyelidikan, minimal ada satu saksi dan satu rekam medis atau hasil visum. Sementara tidak semua kasus anak ada hasil visumnya, seperti kasus pencabulan ringan. "Kendalanya di situ. Kalau tidak lengkap, agak riskan juga naik ke tahap selanjutnya karena rawan praperadilan kalau seperti itu. Untuk psikolog juga memang idelanya perzona ada satu psikolog. Kalau sekarang misal laporan hari Rabu, kita kasih pengantar visumnya Kamis, otomatis dia harus balik lagi Selasa untuk bertemu psikolog. Jadi bolak-balik, kalau ada setiap hari kan tidak mesti seperti itu," ungkap Silvi.
-
Sementara itu, Direktur PKG-P3A Imam Sunandar menilai kasus anak dan perempuan harus menjadi persoalan bersama. Menurutnya, Kabupaten Bogor sudah memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan. Perda tersebut melahirkan lembaga bernama P2TP2A. Namun sayang, P2TP2A dianggap masih kurang maksimal. "Saya melihat P2TP2A belum begitu maksimal dalam penanggulangan permasalahan perempuan dan anak. Mereka lebih merespon persoalan yang telah terjadi secara kasuistik. Seharusnya lembaga tersebut bisa maksimal dalam hal pencegahan," harapnya. Menanggapi persoalan tersebut, Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju Yusfitriadi menyebut Kabupaten Bogor belum layak anak. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Masih cukup banyaknya kasus gizi buruk dan stunting hingga kekerasan anak di Bogor menunjukkan belum ada upaya serius untuk mengatasi persoalan tersebut. "Faktanya tren angka gizi buruk selalu naik dan signifikan. Kenapa? Padahal apa yang kurang. Struktur sudah terbentuk sampai desa. Kemudian anggaran ada. Dana desa juga sudah sangat besar. Lalu mana porsi penguatan untuk anak. Minimal menurunkan stunting dan gizi buruk. Apakah kemudian pemda tidak fokus ke sana, atau legislatif tiap turun ke dapil tidak memotret itu, atau dana desa tidak ada yang dilempar untuk program itu," heran Yusfitriadi. Tak hanya itu, ia menilai eksekutif dan legislatif tidak pernah secara spesifik bicara penguatan anak. Banyak program lain di angkat tapi urusan anak seakan tidak fokus. Outputntya, data menjadi simpang siur dan saling lempar penanganan. "Satu hal yang mampu mengatasinya, bupati harus konsen menangani ini agar tidak semrawut. Saya mendorong legislatif dan eksekutif harus duduk satu meja, terbuka, jujur untuk menyelesaikan bersama. Harus ada langkah konstruktif yang dinaungi kebijakan berpihak," tegasnya. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor Ridwan Muhibi mengaku persoalan anak dan perempuan memerlukan sinergi antar lembaga. Mulai dari Dinas Pendidikan, Kesehatan, olahraga, DP3AP2KB dan instansi terkait lainnya. "Semua harus maksimal, karena kalau tidaksm, masalah gizi buruk dan lainnya masih akan terus terjadi. Perda tentang Kabupaten Layak Anak memang perlu dan kelembagaan seperti P2TP2A harus diperkuat agar bisa menekan permasalahan ini," imbuhnya. Terakhir, Anggota DPRD Kabupaten Bogor Ruhiyat Sujana mengaku Perda Layak Anak sudah didorong sejak dua tahun. Tak hanya itu, lelaki yang akrab disapa Kang RS ini juga mendorong terbentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bogor yang baru saat ini sedang diproses pembentukannya. "Karena bicara geografis kita sangat luas, persoalan ini harus ditangani serius. Kasus anak yang terekspose pun tak sampai 20 persen, masih banyak kasus lainnya. Permasalah di kita juga nggak ada data yang akurat. Makanya penguatan lembaga juga perlu agar lebih serius," tegas Kang RS. Menurutnya, Kabupaten Bogor darurat persoalan anak dan perempuan. Saat ini, semua pihak harus serius dan bisa memulainya dengan menggaungkan kampanye ramah anak di instansi-instansi hingga ruang publik. Sebab jika tidak diantisipasi, jangan harap kasus yang melibatkan anak dan perempuan bisa teratasi. "Kita berharap penyelesaian kasus ini tidak dalam penindakan saja. Kita berharap ada langkah pencegahan juga, karena kami melihat ini belum maksimal. Jika KPAID terbentuk dan Perda KLA terwujud, saya harapkan bisa semakin maksimal fungsi pencegahannya dan melibatkan masyarakat," tandasnya. (fin)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X