METROPOLITAN.id - Kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerapkan status darurat sipil dinilai tidak tepat. Kebijakan tersebut dianggap cenderung membuat 'horor' masyarakat. Direktur Democracy Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Yusfitriadi sepakat bahwa saat ini seluruh komponen bangsa sedang berusaha keras berperang melawan virus corona atau covid-19. Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah maupun masyarakat secara mandiri untuk meminimalisasi penyebaran pandemi tersebut. "Saya memahami maksudnya, yakni bagaimana seluruh komponen masyarakat saat ini sedang diambang bahaya karena penyebaran wabah covid-19 belum bisa diputus mata rantainya. Sehingga bangsa ini, seluruh rakyat Indonesia dalam keadaan darurat," kata Yusfitriadi. Namun, ia menilai penerapan status darurat sipil tidak tepat. Yusfitriadi menjelaskan, istilah darurat sipil pernah berkembang ke publik pada masa rezim orde lama. Sehingga istilah tersebut akan sangat berpotensi membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Padahal menurutnya, pemerintah tinggal membuat regulasi yang mengikat atas semua imbauan yang selama ini digembar-gemborkan. "Yang namanya imbauan tentu saja tidak mengikat, namun lebih kepada kesadaran sosial dalam melaksanakannya. Sehingga sangat wajar ketika masyarakat banyak yang tidak melaksanakan imbauan berbagai pihak, termasuk pemerintah. Karena tidak ada implikasi hukum apapun ketika masyarakat tidak melaksanakan himbauan tersebut. Implikasinya hanya dalam bentuk implikasi sosial," kata Yusfitriadi, Senin (30/3). Untuk itu, dirinya lebih berharap pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mengikat untuk karantina wilayah, masyarakat berkumpul, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan lainnya. "Dengan demikian secara substansi sudah dalam kondisi darurat sipil. Sebab istilah tersebut bukan untuk dinyatakan secara terbuka, apalagi oleh pemerintah. Tinggal laksanakan saja konsekuensi dari istilah darurat sipil tersebut. (fin)