Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia, dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa kata 'hukum' dijadikan lawan kata 'kekuasaan'. Tetapi apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan maka secara filosofis negara hukum (rechtsstaat) bisa saja dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan hak-hak warga negara oleh negara serta mengatur kewajiban-kewajiban masyarakatnya. Hukum dijadikan dasar atau landasan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terwujud law abiding citizen masyarakat taat hukum. Hukum bertujuan untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, damai, tentram dan sejahtera. Namun demikian dewasa ini Indonesia dihadapkan pada masalah obisitas hukum yang berimbas pada tumpang tindihnya satu aturan dengan aturan lainnya. Menurut data Kemenkumham hingga 23 Januari 2020, terdapat setidaknya 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang menggambarkan kompleksitas regulasi di Indonesia. Obisitas regulasi ini disinyalir mempersulit ruang gerak para pemodal (investor) asing maupun domistik untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal kehadiran para investor tersebut akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sehingga pemerintah, dalam hal ini presiden, memandang perlu melakukan trobosan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu terobosan yang dirancang oleh pemerintah adalah menerbitkan satu produk hukum yang mampu menjadi solusi atas permasalahan di atas yaitu dengan menerbitkan Omnibus Law. Omnibus Law Dalam Tinjauan Teori Hukum Kita Bagi kaum pembelajar hukum, baik akademisi maupun praktisi, tidak sedikit yang memberikan komentar ‘nyinyir’ tentang rencana pemerintah tersebut. Omnibus Law dianggap sebagai sesuatu langkah sembrono, cenderung kontradiktif, untuk diterapkan pada situasi dan kondisi negara kita yang masih tertatih dalam supermasi hukum, khususnya dalam bidang pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun bagi kelompok yang pro rencana pemerintah tersebut berpendapat bahwa Omnibus Law ini bisa menjadi solusi yang tepat untuk menjawab problematika yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa dan bagaimana Omnibus Law itu? serta apa dampaknya bagi supermasi hukum di Indonesia di masa yang datang? Dalam bahasa latin, kata omni berarti semua. Kata itu menunjukkan keseluruhan elemen yang ada atau yang sedang dibicarakan. Ada sebuah kalimat bahasa latin yang berbunyi “omnia me cum porto”, artinya aku membawa semua di dalam diriku. Sementara menurut Prof Mahfud MD berpendapat “bahwa pada tahun 1830 di Kota Paris, Prancis, untuk pertama kalinya hadir sebuah bus yang bisa mengangkut barang dan orang sekaligus ke satu tujuan yang sama, bus itu kemudian disebut Omnibus. Kemudian nama Omnibus tersebut dipakai oleh negara-negara Amerika latin untuk sebuah istilah hukum yang bisa mengatur banyak lewat sebuah undang-undang”. Hal ini disampaikan oleh Prof Mahfud MD dalam sambutannya pada acara Law & Regulation Outlook 2020, Jakarta Pusat (22/01/2020). Omnibus Law atau dikenal dengan Omnibus Bill yang sering digunakan di negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Melihat Teori Perundang-undangan kita yang sudah diterapkan dalam bentuk Norma Hukum yang tertuang dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan sudah sangat jelas mengatur secara sistematis materi-materi pokok tentang asas pembentukannya dan secara tekhnis diatur tentang jenis, hierarki, materi muatan dan tekhnik penyusunannya. Jelas bahwa di dalam hierarki dan tata urututan peraturan perundang-undangan tersebut belum ada konsep Omnibus Law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum. Jika RUU Omnibus Law telah ditetapkan dan berlaku, maka hal ini akan mengkualifir dan melabrak Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kita yang sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, hal demikian dikawatirkan akan memunculkan konflik norma baru lagi. Padahal tujuan dari Omnibus Law ini sebagai upaya rifresh dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu penulis berpendapat: 1) agar Pemerintah dan DPR kiranya perlu melakukan identifikasi terhadap UU yang telah dibentuk sebelumnya berdasarkan amanah dari pasal atau ayat UUD 1945 yang telah melalui kajian Akademik sebelum ditetapkan; 2) melibatkan publik secara transparan dan akuntabel sebab dalam konsep negara demokrasi Elit Politik tidak boleh mengklaim diri “lebih tau dan lebih banyak mengerti” dari pada rakyatnya karena akan memunculkan suatu Effect Mekanikal yang kontra produktif dari tujuan dari Omnibus Law itu sendiri. Poin kedua ini penulis anggap penting dilakukan, sebab ada adigum dalam Fiksi Hukum yaitu asas yang menganggap bahwa semua orang tahu hukum (Presumption iures de iure ) ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu dan ketentuan tersebut berlaku mengikat dan tidak dapat membebaskan atas ketidaktahuan seseorang dari tuntutan Hukum 'ignorantia juris non excusat', ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Ancaman Bagi Penaegakan Hukum Di Indonesia Tidak sedikit negara yang sudah menerapkan kebijakan Omnibus Law ini, sebut saja Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Singapura dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya masing-masing dalam rangka penciptaan lapangan kerja (job creation) serta meningkatkan iklim dan daya saing investasi. Namun jika tidak hati-hati Omnibus Law juga bisa membawa dampak negatif serta membuka peluang terjadinya korupsi di sektor legislasi. Di antara hal yang perlu diwaspadai adalah Korupsi legislasi, korupsi legislasi ini merupakan bentuk korupsi yang melibatkan anggota legislatif dengan memperdagangkan kewenangan dalam menyusun sebuah norma peraturan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya dalam suatu studi mengenai korupsi di DPR menengarai bahwa korupsi di DPR tidak hanya terjadi pada fungsi anggaran dan pengawasan, namun terjadi pula dalam fungsi legislasi. Hal senada disampaikan oleh Ketua Formappi Lucius Karus (Kompas.com, 20/12/2019), ia mencontohkan soal UU KPK No 19/2019 yang disebutnya sebagai undang-undang "siluman" karena proses pembahasannya tak pernah diketahui publik. Di sinilah pentingnya keterlibatan publik dalam proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, disamping tentu saja kepatuhan pada asas dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya dengan terbuka, publik mempunyai ruang melakukan kontrol terhadap segala sesuatu yang diputuskan di DPR. Sehingga dugaan adanya pasal-pasal selundupan yang akan menguntungkan sebagian orang atau kelompok tertentu agar produk hukum sesuai dengan kepentingan mereka dapat terbantahkan. Satu hal lagi, jika suatu produk hukum didesain secara koruptif maka potensi terjadinya tindak pidana korupsi berkelanjutan akan sangat terbuka. Sehingga melihat proses pembuatan Omnibus Law dari perspektif pencegahan korupsi juga penting, bukankah mencegah akan jauh lebih baik dari pada mengobati?. Penulis adalah Abdul Haris Kasyi