Minggu, 21 Desember 2025

Jebakan Angka-angka di Tengah Pandemi Covid-19

- Rabu, 29 April 2020 | 23:06 WIB

Belum ada pihak manapun yang mampu memastikan sampai kapan penyebaran virus corona atau covid-19 ini bisa dihentikan. Sehingga berbagai spekulasi yang bersifat prediktif, asumtif maupun narasi subyektif berkembang sedemikian rupa di ranah publik. Tidak sedikit narasi-narasi yang bersifat prediktif maupun assumtif yang memunculkan harapan dan menggembirakan. Namun banyak juga narasi-narasi tersebut membuat kepanikan, skeptis dan memutus asa. Seperti dilansir di beberapa media, informasi dan pernyataan prediksi yang sangat menggembirakan datang dari para ilmuwan dari Singapore University of Technology and Design (SUTD) yang memberikan prediksi kapan virus corona di Indonesia berakhir. Prediksi diunggah dalam laman resmi SUTD dengan judul When Will COVID-19 End. Diperkirakan, hal itu terjadi pada 6 Juni 2020. Saat itu, Indonesia diperkirakan bisa mengatasi 97 persen dari total kasus pandemi covid-19. Sementara pada 23 Juni 2020, Indonesia bisa mengatasi lebih banyak kasus Covid-19 yaitu sekitar sekitar 99 persen kasus infeksi virus corona. Pada 6 September 2020, prediksi kapan covid-19 berakhir di Indonesia menyatakan kasus teratasi 100 persen. Artinya, Indonesia benar-benar bisa keluar dari status terkena pandemi virus corona. Namun prediksi yang beraroma skeptis muncul dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Seperti dilansir dalam Good News for Indonesia, beliau memberikan prediksi mengenai kapan pandemi virus corona di Indonesia akan berakhir. Menurut Jokowi, virus corona akan berakhir pada akhir tahun 2020. Di tengah berbagai prediksi tersebut, Islam di seluruh dunia meyakini bulan Ramadan akan mampu mengetuk pintu langit dalam menghentikan penyebaran covid-19. Angka-angka yang Menjebak Ada dua cluster angka yang selama pandemi covid-19 terkadang melenakan, menakjubkan bahkan juga menganggap akuntabilitas dan transparasi dengan angka-angka tersebut sudah terjaga. Pertama, angka progress harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Setiap hari di semua media elektronik kita diberikan informasi terkait perkembangan korban covid-19, baik itu jumlah masyarakat yang terinfeksi, masyarakat yang sembuh dan masyarakat yang meninggal diakibatkan oleh infeksi covid-19. Tidak hanya itu, beberapa histori penularan covid-19 juga beberapa kasus diinformasikan, selain imbauan-imbauan untuk masyarakat dalam ikut serta memutus mata rantai penyebaran covid-19. Data tersebut oleh banyak pihak diduga disembunyikan oleh pemerintah, sehingga pemerintah dari awal tidak terbuka dengan jumlah korban yang positif terinfeksi covid-19. Walau sampai hari ini pun data-data tersebut masih banyak yang meragukan validitasnya. Progress perkembangan penyebaran covid-19 juga dikuti oleh semua provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Respon masyarakat sangat beragam terhadap angka-angka tersebut, dari mulai yang panik, bingung, optimis, skeptis dan lain-lain. Apapun respon masyarakat, yang pasti angka-angka tersebut sudah mampu menghipnotis dan menjebak perhatian masyarakat. Sehingga terkesan hanya angka-angka tersebut yang layak diperhatikan dan menguras perhatian masyarakat di tengah pandemic covid-19 ini. Padahal ada banyak angka-angka yang lebih menarik dabandingkan hanya sekedar angka informatif. Sampai hari ini, tidak pernah ada pihak manapun yang bertanggungjawab atas angkat-angka jumlah masyarakat yang terdampak covid-19 sehingga terancam hak-hak dasar dalam kehidupannya. Berapa jumlah karyawan yang dirumahkan tanpa diberikan gaji dan pesangon, berapa karyawan Pasar Tanah Abang dan pasar-pasar lainnya yang tidak bekerja, berapa pedagang asongan dan kaki lima yang biasanya bulan Ramadan ini panen, namun saat ini harus menutup lapak-lapaknya, berapa tukang ojek konvensional dan ojek online yang kehilangan mata pencahariannya. Belum lagi pada sektor-sektor unit usaha. Kita tidak pernah tahu berapa buruh konstruksi bangunan proyek yang diberhentikan, karyawan bank, lembaga keuangan mikro yang siap-siap gulung tikar menjelang Idul Fitri ini. Faktanya sampai saat ini, angka-angka tersebut masih tersembunyi. Kedua, angka bantuan sosial pemerintah. Dilansir oleh situs resmi Sekretariat Kabinet Indonesia yang diposting tanggal 9 April 2020, disebutkan sebagai bentuk perhatian pemerintah yang sangat besar terhadap percepatan penanganan covid-19, pemerintah memberikan empat bentuk batuan yanbg sudah disampaikan sebelumnya dan tambahan enam bantuan. Dalam bantuan tersebut jelas disebutkan angkat-angka nominal rupiah yang langsung ditangkap oleh masyarakat sejak tanggal 31 Maret 2020. Seperti bantuan berbentuk kartu sembako yang akan diberikan kepada 20 juta penerima dengan masing-masing Rp200.000 per bulan. Dalam bentuk Kartu Pra Kerja untuk 5,6 juta orang, setiap orang akan mendapatkan Rp600.000 per bulan. Untuk masyarakat yang berdomisi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, akan mendapatkan bantuan sosial sembako sebesar Rp600.000 per tiga bulan. Angka-angka tersebut begitu dinyatakan oleh Presiden Republik Indonesia, saat itu juga langsung direspon oleh masyarakat. Masyarakat tidak pernah faham angka-angka itu untuk siapa, rakyat juga tidak faham negara ini masih mempunyai masalah besar dengan data, rakyat juga tidak akan pernah memahami pemerintah mempunyai dana berapa untuk membantu masyarakat. Yang ada dipikiran masyarakat adalah, Presiden Republik Indonesia akan membantu rakyat Indonesia untuk mengurangi beban yang diakibatkan oleh wabah covid-19. Tentu hal ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Indonesia, namun setelah lama menunggu bantuan-bantuan tersebut tidak juga datang dan datangpun jauh dari harapan. Di situlah kemudian kita memahami bahwa angka-angka tersebut adalah jebakan. Banyak Kepala Desa yang dikejar-kejar oleh warga karena dianggap tidak mampu mengelola bantuan-bantuan tersebut. Bahkan beredar di media social beberapa Kepala Desa 'menggugat' Presiden. Semakin sadar atas jebakan-jebakan tersebut ketika menyaksikan dua staf khusus Presiden dari kalangan milenial memanfaatkan angka-angka tersebut untuk 'berbisnis' di istana negara. Ketiga, angka rekayasa anggaran pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa terdapat anggaran mencapai Rp27 rriliyun yang dapat direlokasikan untuk penanganan covid-19. Diikuti dari beberapa media, hal tersebut dinyatakan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita melalui streaming video tanggal 18 Maret 2020. Hampir bersamaan dengan pernyataan Menteri Keuangan tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Instruksi Menteri Dalam Negeri pada tanggal 2 April 2020 tentang Refocusin Anggaran Seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Seluruh Kebijakan Keuangan Negara tersebur dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 31 Maret 2020. Peraturan inilah yang dipersiapkan pemerintah untuk melindungi para Aparatur Sipil Negara (ASN) ketika terdapat 'malpraktek' dalam mengelola rekayasa anggaran-anggaran ini, baik ditingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Jebakannya adalah kemana anggaran hasil rekayasa tersebut, dimana dipergunakannya dan bagaimana bentuk transparasi serta akuntabilitasnya. Kebijakan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) yang diterapkan di berbagai daerah yang menggunakan anggaran hasil rekayasa tersebut, sebagian besar 'gagal'. Sehingga banyak daerah mengajukan PSBB tahap kedua, tentu dengan menggunakan anggaran yang sama. Termasuk pendataan masyarakat yang terdampat covid-19 yang merupakan tugas Gugus Tugas pun tidak berjalan. Padahal kinerja Gugus Tugas tersebut juga atas biaya hasil rekayasa-rekayasa itu. Sampai hari ini masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka terkait penggunaan semua anggaran hasil rekayasa tersebut. Masyarakat Terperangkap Jebakan Di tengah gelimangnya angka-angka seperti disampaikan di atas, masyarakat yang pada akhirnya menjadi korban atas angka-angka tersebut. Bagaimana tidak, masyarakat diminta untuk tinggal di rumah, pencaharian semua dibatasi bahkan banyak yang dihentikan sementara dengan tidak ada jaminan atas hak-hak dasar hidup masyarakat. Peneliti Ekonomi Indef Bhima Yudisthira dalam detikfinance mengatakan, di tengah virus corona yang makin luas penyebarannya di Indonesia, banyak masyarakat mulai mengeluh kesulitan ekonominya. Terlebih lagi bagi para pekerja informal yang kehilangan sumber pendapatan. Pekerja formal pun dibayangi PHK karena melemahnya dunia bisnis. Pada akhirnya masyarakat akan selalu dihantui berbagai permasalahan soclsial, entah itu kekurangan pangan, lemahnya daya beli masyarakat, kegaduhan social yang mengarah kepada kerusuhan dan masalah-masalah soclsial lainnya. Seperti yang disampaikan oleh Achmad Hafizs Tohir Anggota Komisi XI DPR-RI dalam rapat virtual dengan Otoritas Jasa Keungan (OJK) pada tanggal 7 April 2020. Menurutnya, 'tidak mungkin tertutup masalah sosial jika tidak segera diselesaikan masalah ekonominya. Jangan sampai kita selamat dari (penyebaran) covid-19 tapi mati karena kerusuhan (sebagai akibat dari masalah sosial)' seperti dikutif dari ekonomi.bisnis.com. Penulis adalah Yusfitriadi, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

X