METROPOLITAN.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan DPRD Jawa Barat sepakat menandatangani persetujuan bersama pembentukan calon daerah persiapan otonomi baru (CDPOB) lewat rapat paripurna yg digelar di DPRD Jabar, Jumat (4/12). Dalam paripurna tersebut, ada 3 wilayah yang telah disetujui menjadi CDPOB, yakni Garut Selatan, Sukabumi Utara dan Bogor Barat. Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya mengatakan, Pemprov dan DPRD Jabar tegas menyetujui rencana calon daerah otonomi baru (DOB). "Kami pasti setuju atas rencana calon DOB hingga kondisi idealnya tercapai. Jadi kalau sekarang 3 calon DOB yang menjadi prioritas sudah disetujui DPRD Jabar lalu pusat mensahkan, berarti di Jabar baru ada 30 kota/kabupaten," ujar lelaki yang karib disapa Kang AW. Legislator asal Kabupaten Bogor ini menjelaskan, idealnya Jabar memiliki 37-40 kota/kabupaten. Untuk itu, dirinya berharap dan mendorong muncul calon DOB lain agar kondisi ideal tersebut tercapai. "Kami mengharapkan agar calon DOB lainnya pun muncul, agar kondisi idealnya tercapai, syukur-syukur bisa sampe 40 kota dan kabupaten sebagaimana perbincangan di DPRD Jabar," ungkapnya. Tak kalah penting, Kang AW juga mendorong pemekaran desa di Jabar. Wacana ini terus digulirkan dengan harapan jumlah desa di Jabar akan mencapai 9000-an desa. Mekanisme pemekaran desa juga dinilai jauh lebih mudah. "Harapan kita di Jabar ini dengan banyaknya jumlah penduduk di desa yang mencapai 11 ribu jiwa lebih, bisa juga dilakukan pemekaran desa," ungkapnya. Menurut Kang AW, DOB dan pemekaran desa di Jabar menjadi suatu keharusan. Jika menggunakan kacamata Pemprov, selama ini ada ketimpangan dana transfer daerah dan desa. Anggota Komisi V DPRD Jabar ini mencontohkan, Jabar justru menerima lebih sedikit alokasi dana desa dibanding Jawa Tengah yang selisihnya mencapai Rp2 triliun lebih. Padahal, jumlah penduduk di Jawa Tengah jauh lebih sedikit dibanding Jabar. "Jadi, isu pemekaran kota atau kabupaten dan pemekaran desa itu jangan hanya dipandang secara normatif demi mendekatkan pelayanan publik saja, tetapi secara praktis juga harus menjadi instrumen percepatan pembangunan hingga ke akar rumput yang dampaknya meningkatkan kesejahtraan warga. Dua agenda besar itu bisa dilakukan dengan cara melakukan pemekaran dan ketersediaan kucuran anggaran yang sifatnya given. Diam saja diberikan," terang Kang AW. Akan tetapi, wacana pemekaran desa bukan tanpa kendala. Sejauh ini, ia mendengar tak sedikit kepala desa yang enggan dimekarkan padahal jumlah penduduknya sudah jauh melebihi kata ideal. Para kepala desa yang wilayahnya dimekarkan khawatir dana desanya terbagi dua. Padahal, pemikiran tersebut sangat keliru karena faktanya tidak seperti itu. Kang AW kembali mencontohkan, saat ia melakukan reses di Desa Bantar Sari, dapat informasi bahwa Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, penduduknya berjumlah sekitar 14 ribuan. Dana desa yang diterima tiap tahun sekitar Rp1,2 miliar. Sementara di Desa Bantarsari yang bersebelahan, dengan penduduk sekitar 7000 jiwa, dana desa yang diterima sekitar Rp900 jutaan. "Maka silakan hitung. Jika satu desa yang jumlah penduduknya 14 ribuan itu kita mekarkan jadi dua desa, total dana desa yang akan diperoleh menjadi Rp1,8 miliar kan? Besaran rata-rata dana desa per desa sebagaimana disampaikan Pak Mendagri itu memang Rp900 jutaan. Sehingga buat para kades justru bebannya akan lebih ringan dengan dimekarkan. Mengecil memang anggaran desanya, tetapi warga yang diurus jauh lebih sedikit," bebernya. Hasil studi Kang AW di Jawa Tengah, dengan kondisi ideal jumlah kota/kabupaten dan desa, pembangunan jauh lebih cepat. Beban anggaran pemerintah daerah juga menjadi lebih ringan karena urusan pembangunan di desa bisa jauh lebih mandiri. "Hitungannya jelas, makin ideal jumlah penduduk desa, makin banyak dana transfer yang akan masuk. Jadi pemerintah daerah tidak pusing juga mikirin pembangunan desa, bisa fokus ke yang lain. Ini yang kemudian tergambar di Jawa Tengah ketika jumlah desa dan kota/kabupatennya lebih banyak dari kita. Kalau di kalkulasi, bantuan dari pusat di sana itu mencapai Rp1 juta lebih per kapita, masuk ke Jabar cuma Rp600 ribu ketika kita hitung dana transfer daerah dan lain-lain," sambung Kang Aw. Untuk itu, butuh sinergi di semua level pemerintahan mulai dari desa hingga pemerintah daerah untuk bisa mewujudkan pemekaran desa ini. Selain itu, pemekaran desa di daerah calon DOB juga sangat penting, seperti di Bogor Barat. Saat ini, hituangan PAD Bogor Barat baru mencapai 10 persen atau senilai Rp287 miliar dari total PAD Kabupaten Bogor yang jumlahnya sekitar Rp2,8 triliun. Untuk bisa stabil dengan kondisi seperti saat ini, Bogor Barat mesti memiliki PAD minimal Rp700 miliar. Dengan kondisi seperti itu, butuh inovasi dari sisi penganggaran, agar ketika DOB disahkan kondisi fiskal kabupaten baru tidak tertatih-tatih. "Di kita banyak desa gemuk, makanya harus segera dipecah karena itu akan membantu dari sisi fiskal kabupaten baru. Ini yang harus dipahami juga, tidak cuma soal pemekaran kabupaten. Jangan sampai cuma jadi alat politik. Kita bicara pelayanan dan kondisi hidup masyarakat ke depannya. Ini progran fundamental, termasuk di Bogor Barat karena PAD-nya cuma 10 persen," ujarnya. Hal ini yang kemudian harus mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dengan mengkaji ulang dan mempelajari secara detail soal pemekaran desa. Karena faktanya, banyak desa yang jumlahnya mencapai belasan hingga puluhan ribu. Sementara syarat satu desa itu minimal hanya sekitar 5000 jiwa. Dengan pemekaran desa, cita-cita mendekatkan pelayanan dan mensejahterakan masyarakat pun akan lebih mudah. "Jadi bicara pemekaran di Jabar itu ada dua perspektifnya, pemekaran DOB dan pemekaran desa. Itu akan membuat keran baru mengucurnya dana tranfer daerah dan desa untuk kota/kabupaten dan untuk yang langsung masuk ke akar rumputnya. Jangan khawatir anggarannya dibelah dua, karena kalau diakumulasi justru akan lebih banyak," pungkas Kang AW. (fin)