METROPOLITAN.id - Lurah Kebonpedes, Kecamatan Tanahsareal, Wildan Rayhan angkat suara terkait persoalan keberatan warga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng (Migor) senilai Rp500 ribu yang dipaksa membeli beras dan Migor senilai Rp175 ribu. "Untuk masalah ini saya enggak tau. Mungkin ini inisiatif dari mereka (agen penyedia sembako) sendiri. Jujur saya mah enggak tau," kata Rayhan kepada wartawan, Jumat (15/4). Meski begitu, menurutnya, pihaknya mencoba berpikir positif dari kejadian ini. Kemungkinan teman-teman dari agen tersebut berupaya untuk memudahkan masyarakat, ketimbang harus mencari di tempat lain. Apalagi, agen PHK yang menyediakan beras migor ini bukan abal-abal, dalam artian mereka juga sudah mendapatkan SK dari Kementerian Sosial. "Kalau saya berpikir ya mencoba positif. Mungkin mereka berupaya untuk memudahkan masyarakat daripada mencari kesana kesini," ucap dia. "Cuma memang kalau dari kami juga himbauan dari Dinsos itu tidak ada, hanya menghimbau dan mengarahkan bahwa uang itu di pergunakan untuk peruntukannya," sambungnya. Disinggung soal keberatan harga yang dijual, diakui Lurah Kebonpedes, bahwa harga itu relatif. Namun, pada prinsipnya baginya bahwa bantuan ini bukan ke komoditi melainkan uang tunai. "Kalau harga relatif. Kalau menurut saya untuk harga, yang tadi dibilangnya ada yang masalahin harganya lebih mahal. Tapi intinya bantuan ini bukan ke komoditi, tapi di uang," ungkapnya. "Dan saya berpikir positifnya aja. Cuman setau saya enggak memaksa juga ko, kalau saya," ujar Rayhan. Sementara itu, Kasi Kemas di Kelurahan Kebonpedes, Yunia Ningsih menjelaskan berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihaknya dari penyaluran BPNT senilai Rp600 ribu lalu, bahwa diketahui warga penerima manfaat setelah mendapatkan bantuan tidak membelikan komoditi sesuai dengan peruntukannya. Untuk itu, dalam penyaluran BLT Migor ini pihaknya mencoba memfasilitasi warga penerima manfaat, dalam arti untuk memudahkan mereka. "Banyak laporan ke saya RT, RW dan warga lainnya. Bu itu dapat uang tapi tidak dibelikan sesuai dengan peruntukan, itu tidak apa-apa, ko itu di bolehkan? Seperti itu," katanya. "Jadi saya menghimbau yang disini, karena bantuan ini kan program BLT Migor dan BPNT, kita menghimbau mereka tidak usah jauh-jauh, jadi mereka tuh ada buktinya mereka tuh pulang bawa uang, bawa minyak dan bawa beras," ucap dia. "(Intinya) Kita pun tidak memaksa, tapi kita memfasilitasi istilahnya kita tuh memudahkan mereka," sambungnya. Disinggung apakah hal seperti ini akan dilakukan dalam penyaluran BLT Migor kedua, perempuan berhijab itu mengaku akan mengambil sisi terbaiknya saja. Karena, kalau pun sekiranya dari penyaluran BLT Migor tahap pertama ini dirasa ada kekurangan atau ada yang perlu diperbaiki, pihaknya akan mengevaluasinya. "Kita gimana baiknya saja, nanti kita evaluasi. Untuk hari ini yang disalurkan ada 570 penerima manfaat, untuk besok sama 570 orang juga," tandasnya. Sebelumnya, penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng (Migor) senilai Rp500 ribu di Kota Bogor menuai persoalan dari warga Kelurahan Kebonpedes, Kecamatan Tanahsareal. Musababnya, warga merasa kesal karena dipaksa membeli beras dan migor senilai Rp175 ribu di lokasi pembagian. Informasi dihimpun Metropolitan.id, persoalan ini bermula saat ratusan warga Kelurahan Kebonpedes yang masuk ke dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mengantre penyaluran BLT Migor di Balai RW 02 Kebonpedes, Jumat (15/4). Kemudian, mereka di data dan langsung menerima uang senilai Rp500 ribu dari perwakilan PT Pos Indonesia. Namun, saat hendak pulang melewati pintu belakang, langkah mereka terhenti di salah satu meja yang sudah disiapkan. Di situ, warga diminta untuk membeli beras seberat 10 kg dan minyak goreng kemasan seberat dua liter dengan total biaya sebesar Rp175 ribu. Beberapa warga ada yang menolak, namun mereka tetap diwajibkan membeli karena keputusan ini berlaku bagi semua KPM yang menerima BLT Migor. "Kita dicegat harus beli beras sama minyak harga 175 ribu. Harus beli disitu," kata seorang penerima manfaat yang enggan menyebutkan namanya kepada wartawan, Jumat (14/4). "Kalau harga lebih murah sih ga apa-apa, ini harganya lebih mahal. Itu mah kaya beras kalau pembagian PKH," tandasnya. (rez)