METROPOLITAN.id - Mahalnya harga lahan di pusat kota membuat sejumlah pengembang perumahan mulai memburu lahan dipinggiran kota. Bahkan pengembang perumahan yang mengancam lahan pertanian di Kabupaten Bogor. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda Litbang) Kabupaten Bogor, mengatakan fenomena tersebut terjadi seiring dengan naiknya harga lahan di perkotaan. Dengan kondisi tersebut para pengembang mencari solusi tetap menyediakan hunian dengan harga yang lebih terjangkau. "Kalau huniannya berdiri sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tak menjadi masalah. Tetapi yang dikhawatirkan hunian tersebut berdiri bukan pada RTRW yang tepat," kata Suryanto. Dalam revisi RTRW yang akan dibahas, Suryanto menyebutkan bangunan yang semula melanggar tidak akan diberikan toleransi. Apalagi keberadaan pengembang perumahan yang kini mencari lahan di wilayah pinggiran dapat mengancam lahan pertanian. "Fenomena depelover yang mulai membangun ke wilayah pinggiran memang menjadi ancaman, karena ruang-ruang pemukiman yang sudah kita rencanakan tidak terisi, tetapi yang terisi merupakan ruang-ruang yang bukan pemukiman," paparnya. Sementara itu, Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Jatnika banyak pengembang perumahan mulai mengisi lahan yang tidak diperuntukan untuk pemukiman. Sehingga pihaknya terus mengembangkan hunian vertikal dengan konsep rumah susun (rusun) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). “Harus secepatnya. Khawatir nanti lahan pertanian hilang dan berganti dengan perumahan. Karena trennya sudah seperti itu,” kata Ajat. Dia mengungkapkan, di Kabupaten Bogor terdapat sedikitnya 36 rusun tersebar di pondok pesantren dan kampus-kampus. Namun, yang dimiliki oleh Pemkab Bogor hanya satu unit di Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi. Bahkan saat DPKPP sedang membangun rusun di Desa Dayeuh Kecamatan Cileungsi. "Mudah-mudahan salam waktu dekat rusun Dayeuh segera terealisasi," ungkapnya. (mam)