Senin, 22 Desember 2025

Polemik LGBT

- Rabu, 27 Desember 2017 | 11:24 WIB

-

OLEH : ADE YASIN, SH, MH (Calon Bupati Bogor 2018)

KASUS pernikahan yang belum dicatatkan seperti ini jumlahnya tidak sedikit. Berdasar­kan hasil penelitian sebuah konsorsium yang terdiri dari peneliti-peneliti sosial di Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan, Puskapa UI, PEKKA, dan Lem­baga Penelitian Semeru bekerja sama dengan Bappenas, Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, dan Kemen­terian Agama yang diter­bitkan pada 2014 diketahui bahwa ada sekitar 2 juta pasangan yang berada dalam perkawinan tanpa memiliki akta nikah atau buku nikah. Mayoritas mereka dari keluarga miskin.­

Hal lain lagi yang harus dip­ertimbangkan adalah adanya potensi kriminalisasi terhadap korban perkosaan atau pen­cabulan. Dalam hal, misalnya, pengakuan pelaku yang me­nyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan suka sama suka, yang pelakunya masih usia sekolah. Apakah kita akan mengantar mereka semua ke penjara? Padahal mereka ma­sih butuh untuk melanjutkan sekolahnya. Siapkah kita men­ghadapi hal-hal seperti ini? Seberapa banyak bangunan penjara yang harus disiapkan?

Pertanyaan-pertanyaan ter­sebut membuktikan bahwa persoalan ini tidak sepele. Ini adalah persoalan rumit yang harus diselesaikan oleh pem­bentuk UU. Sebab perlu dila­kukan penyelarasan atas ber­bagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut. Itu ten­tunya akan sangat sulit jika dilakukan oleh lembaga pera­dilan seperti MK. Mengapa? Sebab, lembaga peradilan bersifat pasif. Ia tidak dibenar­kan mencari-cari perkara, atau menyuruh-nyuruh orang un­tuk berperkara.

Oleh karenanya, sudah se­harusnya kita menyudahi menyalahkan putusan MK. Tidak ada yang salah dengan putusan itu. Bahkan sebagai­mana press release yang disampaikan oleh MK bebe­rapa waktu yang lalu, seluruh Hakim Konstitusi mempu­nyai concern yang sama ter­hadap fenomena yang dipa­parkan pemohon. Hanya saja lima orang Hakim Kon­stitusi berpendapat bahwa substansi permohonan di­maksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana, per­buatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum per­buatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya. Sehingga hal itu sesungguh­nya telah memasuki wilayah ”criminal policy” yang ke­wenangannya ada pada pem­bentuk UU (DPR dan Presi­den).

Lebih lanjut dikatakan ba­hwa MK juga concern terhadap fenomena sosial yang dike­mukakan oleh pemohon dalam putusan itu. MK juga sudah menegaskan agar lang­kah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik ke­susilaan tersebut. Dan, yang tidak kalah penting dari itu semua, tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan MK yang me­nyebut istilah LGBT, apalagi dikatakan melegalkannya. MK lagi-lagi hanya menya­takan sebaiknya persoalan tersebut dibawa ke pemben­tuk UU. Bukan melalui ketok palu hakim.

LGBT DAN AGAMA

Nabi Luth (Islam) atau Lot (Kristen) adalah Nabi dan Ra­sul ke-7 setelah Nabi Ibrahim AS. Di kalangan masyarakat Muslim, ia termasuk di antara 25 Nabi dan Rasul yang wajib diimani. Mengimani kehadi­rannya dalam menata tata nilai kehidupan manusia di bumi, termasuk dalam rukun Iman. Secara eskatologis, me­reka yang percaya atasnya, pasti mendapat pahala.

Dalam beberapa catatan se­jarah, Luth adalah adik misan Nabi Ibrahim. Nabi yang ke­enam, jika menggunakan uru­tan Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih dan Ibrahim. Ia juga dikenal sebagai peletak agama tauhid (monotheisme) yang mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa dengan karakter Meta­fisik. Tuhan tidak simbolik dan tidak mungkin disimbolisasi.

Dalam periwayatan dimaksud, Luth adalah anak Ajar. Seorang ahli seni pahat yang dikenal ahli dalam memahat patung (Dewa). Ibrahim sendiri dibe­sarkan dalam kultur keluarga besar Ajar, bapak Luth sekali­gus Paman Ibrahim. Kakak beradik (misan) inilah, ke­duanya kemudian menjadi Nabi dan Rasul. Keduanya, memiliki tugas menyampaikan pesan moral keagamaan ke­pada masyarakat yang ber­beda. Ibrahim dikenal berdak­wah di Mekkah dan Palestina. Warisannya adalah Kakbah (Mekkah) dan Masjid al Aqsa (Palestina).

Berbeda dengan Ibrahim, Luth, dikisahkan menyebarkan agama Tuhan di daerah Sodom. Masyarakat yang dikenal ren­dah moral dan cenderung rusak akhlaknya. Di sinilah agama tidak kenal dan belum ada yang memperkenalkannya. Mereka tidak memiliki pe­gangan hidup (tentu sebelum Luth), sehingga kehidupannya menjadi kacau. Sebelum ke­datangan Luth, masyarakat ini dianggap tidak memiliki pe­gangan agama, sehingga tidak mampu membentuk sistem kemanusiaan yang baik.

Dampaknya, pencurian, pe­rampokan dan perampasan harta benda, menjadi kegiatan rutin. Hukum menjadi rimba. Yang kuat dialah yang berku­asa. Akibatnya, yang lemah selalu menjadi korban penin­dasan dan perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan me­reka yang kuat. Lebih parah dari itu, mereka memiliki dalam penyimpangan sek­sual.

Penyimpangan dimaksud, terlihat misalnya dari keba­nyakan kaum laki-laki yang justru tertarik pada sesama jenis, yakni laki-laki juga. Tidak berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan juga sama. Mereka lebih memilih kaum perempuan, dibanding­kan dengan kaum laki-laki. Periwayatan soal ini, setidaknya dapat dibaca dalam firman Allah, Surat Asy Syura (165-166) yang artinya sebagai berikut:

Mengapa kamu mendatangi (berzina) dengan jenis lelaki di antara manusia. Sementara itu, isteri-isteri yang berikan Tuhan untukmu, kau tinggal­kan. Kamu bahkan termasuk orang-orang yang melampaui batas.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X