NASIB Asep Maftuh yang kini terkurung di sel tahanan RS Sartika Asih, Jalan Moch Toha, Kota Bandung, Jawa Barat, seolah memperlihatkan kebimbangan aparat penegak hukum dalam menindak tersangka pembunuhan Ustaz Marwoyo tersebut. Asep yang terdiagnosa mengidap gangguan jiwa, tak dapat dipidana.
“Sesuai Pasal 44 KUHP. Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, tidak dapat dipidana,” ujar pakar hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bondan, kepada Radar Depok (grup Radar Bogor), kemarin (20/2).
Dosen Fakultas Hukum UI itu mengatakan, penegak hukum wajib meminta bantuan ahli jiwa untuk memastikan apakah pelaku penganiaya yang diduga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), benar menderita gangguan jiwa atau tidak. Pun jika terbukti bersalah, ODGJ harus dikirim ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan menjalani perawatan sekurang-kurangnya selama satu tahun.
“Mereka diperiksa dokter kejiwaaan. Nanti dokter tersebut yang memberikan keterangannya di pengadilan tentang kejiwaan pelaku. Baru setelah itu, hakim yang memutuskan,” jelasnya.
Hal serupa juga disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Fickar menjelaskan, otoritas yang paling berhak untuk menentukan seseorang gila atau tidak adalah otoritas kesehatan jiwa. “Jadi untuk menyimpulkan gila atau tidaknya seseorang jangan sembarangan orang atau instansi,” ujarnya saat dikonfirmasi Radar Bogor.
Ia juga meminta masyarakat atau instansi terkait untuk hati-hati dalam menentukan status kejiwaan seseorang. Pasal 44 KUHP menjelaskan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa karena pertumbuhan atau penyakit, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Karena itu jangan sembarangan menilai gila seseorang. “Karena sangat mungkin orang waras mengaku dirinya gila.” lanjutnya.
Fickar sendiri mengakui adanya kejanggalan dari serangkaian peristiwa penganiayaan oleh ODGJ yang menghiasi pemberitaan media beberapa waktu ini. “Karena terjadi di beberapa daerah dan yang menjadi sasaran adalah pemuka agama lain, maka sangat janggal jika pelakunya dikatakan gila,” ungkapnya.
Ketika ditanya terkait penanganan hukum pidana bagi pelaku kriminal yang diduga mengalami gangguan disabilitas mental, ia berpendapat bahwa pelakunya tetap harus diadili. “Menurut saya walau pun gila tetap harus diadili, dimana hukumannya tetap harus dimasukan dulu ke rumah sakit jiwa untuk diamati gila atau tidaknya,” pungkasnya.
Di bagian lain, pakar psikologi forensik Reza Indragiri menilai perlu dikaji lebih dalam kondisi kejiwaan pelaku penganiayaan yang sebenarnya. Sebab, tidak semua jenis gangguan kejiwaan bisa membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan Pasal 44 KUHP.
"Jadi, harus dipastikan seakurat mungkin diagnosis kejiwaan si pelaku. Juga, andai pelaku diketahui punya gangguan kejiwaan, masih perlu dicek kapan ia menderita gangguan tersebut?" kata Reza.
Jika gangguan baru muncul setelah ia melakukan aksi kejahatan, Reza mengatakan perbuatan jahat sesungguhnya ditampilkan saat ia masih waras. Karena itu, ia mengatakan seharusnya tetap ada pertanggungjawaban secara pidana. "Yang jelas, orang-orang dengan skizofrenia punya kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan kekerasan ketimbang populasi umum. Ini punya implikasi penting," ujarnya.
Hal senada juga ditegaskan Direktur Utama RS Marzuki Mahdi Bogor, dr Bambang Eko S, SpKJ, Mars. Menurutnya, ODGJ yang tersandung hukum tidak dapat dipidanakan. Itu lantaran ODGJ tidak memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap tindakan hukum yang dilakukan.
“Untuk pelaku ODGJ jelas tidak bisa dipidanakan,” ujar dr Bambang kepada Radar Bogor.
Namun, untuk memastikan pelaku benar-benar ODGJ, harus melalui berbagai serangkaian tes. Untuk terperiksa atau tersangka yang diduga mengalami gangguan jiwa, dr bambang menegaskan bahwa penyidik harus melakukan koordinasi dengan ahlinya yakni psikiater melalui permintaan Visum et Repertum Psychiatry.