“Kenapa bayi baru lahir menangis? Mungkin salah satunya karena mereka harus menanggung utang negara”. Obrolan itu terdengar saat jam istirahat kantor di kantin lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Rupanya utang Indonesia yang tembus di angka Rp4.915 triliun (per Januari 2018, red) jadi perbincangan banyak kalangan. Ini pula yang dibahas habis-habisan di sejumlah grup percakapan online, media sosial dan para PNS.
Sejak era Presiden Soeharto hingga Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang RI terus merangkak. Dari semula di angka ratusan triliun, kini tembus hingga ribuan triliun. Bila dirunut, era Pak Harto tercatat utang luar negeri per Mei 1998 sebesar Rp551,4 miliar. Kemudian di zaman Gus Dur utangnya naik dua kali lipat menjadi Rp1.271,4 triliun. Jumlah ini terus meroket di era Megawati Rp1.298 triliun dan SBY (dua priode) yang langsung meloncat jadi Rp2.608,8 triliun. Sampai-sampai di era pemerintahan Jokowi-JK yang sedang gencar-gencarnya menggenjot proyek infrastruktur, Utang Luar Negeri (ULN) RI mencapai Rp4.915 triliun. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), ULN Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen (yoy) menjadi 357,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.915 triliun (kurs Rp13.750 per dolar AS). Rinciannya adalah 183,4 miliar dolar AS atau setara Rp2.521 triliun utang pemerintah dan 174,2 miliar dolar AS atau setara Rp2.394 triliun utang swasta. Direktur Departemen Statistik BI Tutuk SH Cahyono menyebutkan, pertumbuhan ULN itu sejalan dengan banyaknya proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan, serta berbagai kegiatan lainnya.
"Pertumbuhan ULN Indonesia per akhir Januari 2018 bersumber dari pertumbuhan ULN sektor swasta sebesar 6,8 persen (yoy) serta sektor pemerintah dan bank sentral sebesar 13,7 persen (yoy)," katanya di Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Artinya, dengan jumlah utang tersebut bila dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang tercatat Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 261,9 juta jiwa, maka setiap Warga Negara Indonesia (WNI) kebagian jatah untuk menyicil utang negara Rp18 juta. Seperti perhitungan Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES).
“Pada 2017 saja tiap bayi lahir menanggung utang Rp16 juta, pun sama dengan kondisi sekarang. Tinggal dibagi saja dengan jumlah penduduk,” ungkap Ketua Umum AKSES Suroto.
Sementara meski utang Indonesia terus meroket, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Schneider Siahaan menjelaskan, masyarakat tidak terlalu mengkhawatirkan jumlah utang yang dipinjam pemerintah.
Hal itu karena indikator rasio utang pemerintah masih dalam level aman yakni sebesar 29,24 persen terhadap PDB dan diajukan secara hati-hati dan efisien. Adapun batas maksimum utang pemerintah sebagaimana dalam UU Keuangan Negara Nomor 17/2003 adalah 60 persen terhadap PDB.
"Utang ini akan naik terus sepanjang anggaran kita masih defisit. Yang kami lakukan adalah mengelola utang dengan baik agar bisa membayarnya," ujarnya.
Dia mengilustrasikan pembayaran utang ini dengan penerimaan yang dihimpun negara, termasuk penerimaan pajak. Apabila pada 2018 perkiraan penerimaan negara sebesar Rp1.894 triliun, maka dengan jumlah utang Rp4.034 triliun, pemerintah memiliki waktu jatuh tempo untuk membayar utang itu selama sembilan tahun.
Dengan begitu, setiap tahun berdasarkan perhitungan kasar, pemerintah perlu membayar utang Rp450 triliun. "Kalau kita punya penerimaan Rp1.894 triliun dan utang jatuh tempo Rp450 triliun setiap tahun, itu kita bisa bayar tidak? Ya bisa. Jadi itu namanya mengelola," ujarnya.
Siahaan menuturkan, utang pemerintah juga tentu dapat dilunasi tergantung kebijakan politik anggaran yang akan diterapkan. Misalnya dia mengilustrasikan, dari target pendapatan pemerintah yang sekitar Rp1.894 triliun, bisa saja pemerintah memilih alokasi belanja dan mendistribusikan anggaran yang lebih besar untuk membayar utang.
"Kalau ditanya kapan lunas, tergantung politiknya. Kalau bisa bikin anggaran surplus Rp500 triliun setahun, kalau penerimaan Rp1.800 triliun, kita potong jadi Rp1.300 triliun. Jadi bagi saja, kan itu bisa delapan tahun (lunas, red)," ucapnya. Sementara pemerintahan saat ini masih memiliki waktu sekitar 18 bulan lagi.
Berdasarkan dokumen APBN kita per Maret 2018, utang pemerintah masih didominasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.
Penerbitan SBN itu mayoritas atau sekitar Rp2.359,47 triliun diterbitkan dalam denominasi rupiah dan dalam denominasi valas sebesar 18,11 persen atau Rp897,78 triliun.