METROPOLITAN - Kasus penembakan dilakukan sesama polisi kembali terjadi. Kali ini dilakukan Brigadir Rangga Tianto terhadap rekannya, Bripka Rahmat Effendy. Aksi berdarah itu terjadi di Polsek Cimanggis, Depok, pada Kamis (25/7) malam.
Penembakan itu bermula saat Bripka Rahmat Effendy mendatangi SPK Polsek Cimanggis sambil membawa FZ, seorang pelaku tawuran yang diamankan. Kemudian orang tua FZ menyusul sambil membawa dua polisi, salah satunya Brigadir Rangga Tianto.
Kedatangan mereka untuk meminta FZ agar dibina orang tuanya dan tidak diproses hukum. ”Namun Bripka RE (Rahmat Effendy, red) langsung menjawab bahwa proses sedang berjalan dan saya sebagai pelapornya, dengan nada agak keras bicaranya,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Reaksi Bripka Rahmat Effendy membuat Brigadir Rangga Tianto meradang. Brigadir Rangga Tianto emosi hingga masuk ruangan sebelah lalu mengeluarkan senjata dan langsung menembakkan senjata api jenis HS 9 ke arah Bripka Rahmat Effendy sebanyak tujuh kali.
”Mengenai bagian dada, leher, paha dan perut, sehingga korban meninggal di tempat,” beber Argo seraya menuturkan bahwa di lokasi ditemukan tujuh selongsong usai tembakan yang dilepaskan Brigadir Rahmat Effendy.
Kasus ini pun menyita perhatian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Menurut Komisioner Kompolnas, Andrea Poeloengan, kasus polisi tembak polisi ini berawal karena keduanya emosi. “Ini bisa jadi karena sama-sama keras terhadap pendirian, saling tidak peduli terhadap kebutuhan, harapan dan kekhawatiran satu pihak dengan pihak lainnya,” jelas Andrea.
Mengenai kondisi Brigadir Rangga Tianto, menurut Andrea, perlu didalami lebih jauh. “Hanya saja si pelaku penembakan bisa jadi memiliki ego, gangguan psikis, arogansi, abuse of power, tidak dapat mengendalikan emosi, atau yang lainnya yang menjadi faktor penyebab,” ucapnya.
Andrea juga menyoroti soal kelayakan seorang anggota polisi memegang senjata api. Hal itu ditentukan oleh uji psikologis dan jasmani yang seharusnya dilakukan secara berkala setiap enam bulan sekali.
Tetapi, menurutnya, itu juga belum cukup untuk memastikan kejiwaan seorang anggota dalam kondisi baik sehingga aman dibekali senjata. “Perlu ada pemeliharaan dan perawatan agar kualitas kesehatan jiwa tetap prima. Perawatan kesehatan jiwa sama (pentingnya, red) dengan kesehatan badan. Karena justru jiwanya harus kuat dalam bertugas sebagai polisi selain badan,” papar Andrea.
Kompolnas, lanjutnya, mengusulkan pengadaan konselor psikolog pada setiap polres sejak 2016 untuk menjaga kesehatan jiwa setiap anggota kepolisian. Namun, hingga kini belum ada perkembangan. “Hal ini terlihat ketika penerimaan Perwira Polri Sumber Sarjana tidak sampai 34 psikolog klinis yang diterima pada tiap tahunnya sejak 2016,” kata Andrea.
Ia menambahkan, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kasus penembakan sewenang-wenang oleh anggota kepolisian akan terulang kembali di kemudian hari. Andrea menyebutkan selama ini hanya ada pemeriksaan kesehatan secara fisik seperti uji laboratorium, tetapi tidak ada pemeriksaan dan pemeliharaan kesehatan jiwa secara rutin.
Hal senada diungkapkan Spesialis Kedokteran Jiwa atau Psikiatri (SpKJ) dari RS Siloam Bogor, dr Lahargo Kembaren. Ia mengingatkan pentingnya ’anger management’ (manajemen marah, red). ”Marah yang terlalu hebat dan terus menerus berulang jelas akan sangat mengganggu. Lakukan ’anger management’ untuk dapat mengontrol marah agar tidak terjadi hal yang merugikan,” saran dr Lahargo.
Menurut dr Lahargo, ada banyak sekali penyebab orang bisa marah. Di antaranya karena kecewa, malu, sedih, frustrasi atau tidak dihargai. Berbagai penyebab itu akan mengaktifkan amigdala, bagian otak yang mengatur emosi. Aktivitas tersebut akan merangsang pelepasan hormon stres oleh kelenjar adrenal. Termasuk dalam kategori hormon stres, antara lain kortisol, adrenalin dan noradrenalin.
Di tempat lain, isak tangis di Perumahan Permata Tapos Blok A No 1, RT 03/08, Kelurahan Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Kota Depok, tak terbendung kala mobil jenazah tiba di rumah Bripka Rahmat Effendy. Keluarga masih tak percaya Rahmat menjadi korban penembakan yang dilakukan sesama rekan kerjanya.