Minggu, 21 Desember 2025

Ubah UU, DPR Ingin Lemahkan KPK

- Jumat, 6 September 2019 | 09:24 WIB
JUMPA PERS: Pimpinan KPK Agus Rahardjo (tengah) saat menyampaikan penjelasan soal revisi UU KPK oleh DPR.
JUMPA PERS: Pimpinan KPK Agus Rahardjo (tengah) saat menyampaikan penjelasan soal revisi UU KPK oleh DPR.

METROPOLITAN - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali muncul setelah sekian lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bak operasi senyap, tiba-tiba saja DPR mengagendakan rapat pari­purna pada Kamis (5/9) untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi UU KPK.

Sejak wacana ini menjadi polemik, Baleg tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengatakan, rencana revisi UU KPK memang sudah menjadi pembaha­san sejak 2017. Menurutnya, semua fraksi di DPR dan pemerintah sepakat akan rencana itu.

”Ya itu kan sudah lama ada di Baleg. Pemerintah dan DPR kan sudah 2017 lalu menyepakati untuk dilakukan revisi terbatas terhadap UU KPK itu,” ujar Masinton.

Ia mengatakan, poin revisi UU KPK saat ini tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017 lalu. Perubahan meny­angkut beberapa hal, antara lain terkait penyadapan, ke­beradaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) dan status kepegawaian KPK.

Poin perubahan itu juga tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Ko­misi Pemberantasan Korup­si (Pansus Hak Angket KPK) terkait hasil penyelidikan tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018. ”Re­visi terkait dengan penyada­pan, dewan pengawas, ke­wenangan SP3 dan tentang pegawai KPK,” kata Masinton.

Substansi revisi yang dise­pakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK. Poin per­tama, kedudukan KPK dise­pakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tu­gas dan kewenangannya ber­sifat independen. Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada Undang-Undang ASN

Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bu­kan bagian dari pemerintah. Kedua, kewenangan penyada­pan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.

Ketiga, penegasan KPK seba­gai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Ke­empat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, ke­menterian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelo­laan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK. Keenam, kewenangan KPK untuk men­ghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3. Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.

Saat wacana revisi UU KPK mengemuka pada 2017, ke­enam poin itu mendapat kri­tikan dari kalangan pegiat antikorupsi. Mereka mengk­hawatirkan rencana tersebut akan melemahkan kewenangan KPK. Sebab, beberapa keten­tuan revisi dianggap akan berimplikasi pada kewenangan KPK.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jen­tera Miko Ginting menilai revisi UU KPK belum diper­lukan. Pertama, ia berpenda­pat konsep pembentukan dewan pengawas tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK. Begitu juga kewenangan dewan pegawas dalam menyusun kode etik untuk pimpinan KPK.

Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak dida­sari pada satu orang. Kedua, terkait penyadapan melalui izin dewan pengawas. Ia me­nilai hal itu mencampuraduk­kan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia.

Sementara itu, dalam UU KPK saat ini, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK. Miko juga mengkritik soal kewenangan SP3. Ia me­mandang KPK tidak perlu memiliki kewenangan me­nerbitkan SP3. Selama ini, adanya tersangka atau ter­dakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3. ”Saya kira tidak ada urgensinya, mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apa­bila ada tersangka atau ter­dakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengaju­kan tuntutan bebas ke peng­adilan,” ucap Miko.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X