Senin, 22 Desember 2025

DI ANTARA ILUSI DAN CITA-CITA

- Kamis, 27 September 2018 | 10:25 WIB

Pengamat Kebijakan Publik, Yusfitriadi, menilai visi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor menjadi kabupaten termaju merupakan fatamorgana. Konstruksi dan desain awal seperti parameter dan penilaiannya tidak jelas.

Pernyataan itu disampaikan saat diskusi bertajuk ‘Kabupaten Bogor Termaju, Antara Fakta dan Cita-Cita’ yang digelar Komisi I DPRD Kabupaten Bogor bersama Kelompok Wartawan DPRD Kabupaten Bogor di lobi utama gedung DPRD Kabupaten Bogor, kemarin.

“BAGI saya, Kabupaten Ter­maju ini sebuah fatamorgana. Pertama adalah konstruksi dan desain awal tidak jelas. Harusnya dari awal sudah dipetakan mel­alui riset. Capaian itu biasanya melalui metodologi ilmiah baik kuantitatif maupun kualitatif,” kata kang Yus, sapaan akrabnya.

Sejauh ini, Kang Yus menilai, parameter dan penilaian visi Kabupaten Bogor Termaju hanya dibuat sendiri oleh pemerintah daerah. Sehingga objektivitasnya perlu dipertanyakan. Baginya, berbagai macam mimpi tidak akan pernah terwujud jika pe­merintah tak mempunyai data riset. Harus ada penelitian di segala bidang dan semua harus independen dengan melibatkan partisipasi masyarakat agar ob­jektif.

“Masa yang punya mimpi dia, yang buat indikator dia dan yang menilai dia. Harusnya kan tidak begitu, melibatkan pihak ekster­nal untuk meriset, sehingga ada lembaga yang menilai. Kalau siswa ujian kan yang nilai guru, bukan siswanya sendiri,” ujarnya.

Padahal, Kang Yus menilai pe­merintah daerah bisa bekerja sama dengan sejumlah lembaga maupun perguruan tinggi. Di Bogor, ada IPB yang fokus perta­nian, Universitas Djuanda dengan politiknya, STKIP dengan pendi­dikannya dan lainnya. Pelibatan perguruan tinggi di nilai bisa lebih dipercaya dibanding rekanan yang money oriented.

“Pelibatan partisipasi publik dalam penyampaian visi ini kan tidak ada. Mana ada lembaga riset yang ikut menilai di sini baik secara kualitatif dan kuantitatif. Lalu pemkab mengukur diri sendiri? Bagaimana ceritanya kalau seperti itu,” ungkapnya.

Selain itu, Kang Yus juga me­nilai pemerintah daerah masih berkutat di angka. Padahal, ma­syarakat tidak peduli dengan angka dan hanya akan melihat output kerja pemerintah daerah. Angka-angka yang dikeluarkan pemerintah daerah dinilai se­ringkali bertentangan dengan kondisi riil di lapangan, termasuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

“Ukurannya baru sebatas angka. Tapi realisasinya belum terasa. Misalkan, pemkab menganggarkan pembangunan infrastruktur Rp8 miliar. Di kas daerah lalu sudah dikeluarkan dan itu sudah jadi klaim berha­sil. Masalahnya, betul tidak pembangunanya? Apakah sudah selesai, material yang digunakan memenuhi kualifikasi atau tidak dan lainnya. Parameter kualita­tif ini kan yang sejauh ini tidak terukur,” jelasnya.

Senada, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bogor, Kukuh Sri Widodo, mengatakan, pemerin­tah daerah terlalu memaksakan karena visi tersebut terlalu ting­gi. Salah satu contohnya seper­ti RSUD yang sibuk mengejar akreditasi, tapi pelayanannya tidak dimaksimalkan. “Okelah kalau empat RSUD kita sudah terakreditasi, tapi pelayanannya bagaimana? Apa ada daerah lain yang bisa menjadi komparasi. Ini kan semua penilaian sen­diri dari pemkab,” kata Kukuh.

Di tempat yang sama, Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Ana­lisis Statistik BPS Kabupaten Bogor, Ujang Jaelani, mengata­kan, BPS memiliki metodologi ilmiah yang bisa dipertanggung­jawabkan dan merupakan lem­baga vertikal yang tidak dip­engaruhi pemda. Namun selama ini, dirinya mengaku Pemkab Bogor memiliki penghitungan sendiri dalam progres capaian penciri yang dimiliki. Seharusnya pemkab mengomparasi data yang dimiliki dengan data BPS untuk perbandingan.

“Kami punya data makro untuk setiap komponen. Terutama dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan setiap tahun dalam lima tahun terakhir pro­gram IPM rata-rata 0,19 persen. Jika dibanding sesama kabupa­ten, Bogor tertinggi. Tapi, jika dengan kota masih jauh,” beber Ujang.

Menurut Ujang, Pemkab Bogor baru menggunakan data BPS mulai 2016. Sementara sebelum itu, pemkab hanya menggunakan perhitungan sendiri, terutama saat ada revisi penghitungan garis kemiskinan dan RLS pada 2016 itu.

Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah pada Bappedalitbang Kabupaten Bogor, Dadang Iskandar, menga­ku hanya dua poin yang belum tercapai dari visi Kabupaten Bogor Termaju di Indonesia yang digagas Bupati dan Wakil Bu­pati Bogor Periode 2013-2018. Pertama adalah Angka Harapan Hidup (AHH) yang baru tercapai 70,70 persen pada 2017, semen­tara target di akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013-2018 adalah 71,20 tahun.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X