METROPOLITAN - Dari 1,6 juta Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia, baru 18 persen yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115 ribu ABK bersekolah di SLB, sedangkan 299 ribu anak bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan angka partisipasi sekolah anak berkebutuhan khusus sangat rendah. ”Banyak faktor kenapa angka partisipasi itu rendah. Bisa karena kekurangan sarana pra-sarana, bisa juga karena keengganan keluarga menyekolahkan anaknya yang ABK,” kata mendikbud usai meluncurkan program kemitraan “1 in 11” dengan UNICEF tentang Pendidikan Inklusi melalui olahraga, di SLB Pembina Tingkat Nasional, Jakarta, baru-baru ini.
Karena itu mendikbud mengimbau kepada para orang tua yang memiliki ABK, untuk proaktif mendaftarkan anaknya ke sekolah. Bisa melalui Sekolah Luar Biasa (SLB), maupun sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi. Ia juga mengimbau sekolah-sekolah untuk mendata dan mengajak ABK yang ada di sekitar sekolah agar mau menjadi peserta didik.
Mendikbud mengatakan, sudah menjadi amanat negara bahwa pendidikan ditujukan untuk semua warga negara. “Paradigmanya, pendidikan untuk semua, education for all dan nondiskriminasi. Negara harus memberikan akses yang sama kepada semua warga negara,” katanya.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu juga menuturkan, penanganan anak berkebutuhan khusus tidak bisa dilakukan sendiri oleh kemendikbud. Kemendikbud akan terus melakukan koordinasi dengan kementerian sosial dan kementerian kesehatan untuk memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus.
Ia mengaku, penanganan ABK memang memerlukan cara yang khusus pula, karena harus ada penghitungan yang matang, baik dari segi anggaran maupun sumber daya manusia. “Yang harus diutamakan adalah memperluas akses, memperbanyak anak berkebutuhan khusus supaya semakin terakomodasi, tertampung dan tertangani dengan baik,” tutur mendikbud.
(*/ram/dit)